Narasi

Menghindarkan “Bencana” Agama

John D Caputo, Guru Besar Filsafat Universitas Villanova, AS, di dalam bukunya, On Religion (2001), membagi periode keberagamaan manusia menjadi tiga; periode sakral, sekularisasi dan post-secular.

Periode sakral adalah periode kala agama diyakini sebagai sesuatu yang suci, tinggi, dan tak tersentuh. Tak seorang pun punya nyali untuk menanyakan, apalagi memprotes agama. Keberagamaan pada periode ini didominasi model keberagamaan bisu dan tak kritis.

Semua penganut agama hanya sam’an wa tha’atan. Periode ini, terutama di Eropa, terjadi pada era kegelapan (dark ages), sebelum abad XV dan ditandai oleh terkungkungnya (tersubordinasinya) akal oleh Bible.

Pada periode sekularisasi, nalar-nalar kritis yang mencoba mempertanyakan dan pada tingkat tertentu malah menggugat agama, mulai bertebaran. Periode ini dimulai sejak masa renaissance (kelahiran kembali), abad XV-XVI dan ditandai kebebasan akal dari “penjajahan” Bible.

Saat itu, Kristen menjadi “bulan-bulanan” nalar-nalar kritis itu. Doktrin Kristen banyak dianggap tak sealur dengan temuan-ternuan ilmiah. Gereja mulai ditinggalkan atau pengaruhnya ditanggalkan. Dan terbukti, seperti ucapan Muhammad Abduh, umat Nasrani maju, karena meninggalkan agamanya.

Malah, pada tahap selanjutnya, tidak hanya doktrin gereja yang ditanggalkan atau ditinggalkan. Doktrin agama-agama lain pun turut menjadi korban. Sayyid Hossen Nasr menengarai, sesungguhnya semua agama bernasib serupa dalam hal sekularisasi. Baru pada abad XVII-XIX, Eropa mengalami European enlightenment (pencerahan Eropa). Dan semboyan “agama adalah candu masyarakat” yang diteriakkan Karl Marx (1818-1883), termasuk yang mewarnai periode ini.

Periode post-secular merupakan anti-tesis dari periode sekularisasi. Bila pada periode sekularisasi agama dijadikan bulan-bulanan, pada periode ini agama (tepatnya spiritualitas) menjadi sesuatu yang amat dirindukan. Pada periode ini, abad 20 hingga sekarang, agama tampil kembali sebagai kebutuhan mendasar. Fenomena gerakan New Age yang melanda negara maju, tentu saja tidak bisa dipisahkan dari karakter, sekaligus penanda periode ini. Inilah babak baru peradaban manusia.

Fenomena kerinduan terhadap kehadiran agama ini cukup menarik dicermati. Sebab, seperti ditulis Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama Universitas Wake Forest, AS, dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (2002), agama acapkali justru menjadi bencana kemanusiaan. Kekerasan, perang, pertikaian, saling bunuh, dan aneka teror merajalela, acapkali dilatari agama. Saat itu, agama menjadi busuk dan rusak.

Menurut Kimball, pangkal kebusukan dan kerusakan agama itu ada lima. Pertama, kala pemeluk agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai satu-satunya dan yang mutlak – truth claim dalam bahasa Muhammad Arkoun. Kedua, munculnya fanatisme buta para pemeluk agama, pada pemimpin keagamaan mereka. (Ingat ucapan Karl Marx: agama itu laksana kekuasaan. Siapa menggenggam agama, dialah penguasa yang dapat melakukan apa saja).

Ketiga, pemeluk agama mulai gandrung merindukan zaman ideal atau the golden age. Tak cukup hanya merindukan, mereka pun bertekad mengusung zaman itu ke masa kini. Keempat, kala pemeluk agama menyetujui dan mentolerir terjadinya “tujuan membenarkan segala cara.” Dan kelima, bila crusade (perang suci) diteriakkan. Dalam bahasa Rudolf Otto, barangkali kelima hal inilah yang disebut mysterium tremendum (misteri yang menggentarkan), dalam kaitan hubungan antara manusia dengan Tuhan (agama).

Yang tak kalah penting untuk direnungi, pada periode post-secular ini, “agama” yang dirindukan bukan agama formal, melainkan spritualitas yang mengedepankan cinta kasih. Agama formal tak terlalu diperlukan. Spiritualitas cinta kasih itulah yang jauh lebih penting. Karenanya, Caputo –yang banyak tertular pemikiran Jacques Derrida— menawarkan gagasan ganjil: “agama tanpa agama”.

Agama pertama dimaknai cinta kasih atau religiusitas dan agama kedua dimaknai agama formal. Maksudnya, cinta kasih atau religiusitas dapat diperoleh tanpa melalui agama formal. Dan menurutnya; “Sebagian kalangan dapat secara mendalam bersifat ‘religius’ dengan atau tanpa teologi, dengan atau tanpa agama-agama. Agama dapat ditemukan dengan atau tanpa agama.” Sebab itu pula, dia acap berujar; “Kebalikan manusia religius adalah manusia tanpa cinta. Agama adalah cinta kasih. Manusia religius adalah yang punya cinta.”

Kendati bergagasan demikian, bukan berarti Caputo menafikan urgensi agama formal. Ia sendiri tetap memegang teguh tradisi agama Kristen. Karenanya, setelah menawarkan gagasan “agama tanpa agama” (Caputo tidak mau membatasi agama pada sesuatu yang konvensional atau sektarian, seperti Islam, Hindu, Katolik atau Protestan), dia buru-buru mengklarifikasi: “Saya harus segera menambahkan bahwa agama-agama besar dunia sangat penting.” Ini menunjukkan, Caputo tetap hormat pada agama formal dan itu dibuktikannya,

Dengan demikian, tampaknya Caputo memang tidak anti agama formal, melainkan lebih menekankan makna otentik dari agama itu; cinta kasih. Tuhan adalah cinta kasih itu sendiri, tuturnya. Dalam asma al-husna sendiri, al-Rahman dan al-Rahim menjadi sifat terdepan bagi Allah. Dan agama berarti being religious, kereligiusan manusia. Karena, kata religious acap digunakan untuk suatu kebijaksanaan, perilaku religius, memelihara tugas seseorang bagi Allah “secara religius”, yaitu dengan kasih akan Allah.

Sebab itu, cinta kasih sudah seharusnya kita kedepankan, terutama di zaman yang kian gaduh ini, guna mewujudkan rasa damai, aman, dan saling menghormati antar keragaman. Tidak saatnya lagi kita berlindung secara buta di balik benteng agama formal, dengan mengklaim diri sebagai yang terbenar. Akhirnya, menghilangkan sekat-sekat keformalan agama (beyond formal religion), dengan mengedepankan cinta-kasih, menjadi keniscayaan. Itulah syarat utama pembentuk kedamaian dan ketenteraman di muka bumi. Dan itulah agama kaum sufi, sejatinya.

Bagaimana nasib agama hari ini, di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang kian “berisik”? Tentu saja, jika hari ini kita ingin benar-benar melihat agama “yang sesungguh-sungguhnya agama” dan bukan agama yang “menghadirkan” bencana, maka semestinya agama yang bernuansa cinta inilah yang kita pegangi dan kita sebarkan nilai-nilainya ke seluruh penjuru negeri.

This post was last modified on 16 Januari 2018 10:17 AM

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

22 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

22 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

22 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago