Narasi

Menghormati Ulama; Guru Bijak Perekat Persatuan

Ada banyak orang yang mendaku sebagai ulama, tapi begitu tampil di mimbar dakwah, akhlaknya tidak mencerminkan keulamaannya. Ini adalah tipe ulama-ulamaan, yang berbalut ‘pakaian takwa’ tapi hati kotor tiada terkira, karenanya gemar hujat sana-sini dan tikfiri kanan-kiri.

Apalagi di tahun politik, masyarakat (mestinya) akan semakin gampang dalam menilai mana ulama betulan dan mana yang karbitan. Kriteria yang sudah saya sebutkan adalah satu di antara kriteria lainnya, yang menunjukkan kedangkalan pikir dan ketinggian ego, yang dimiliki ulama karbitan. Mustahil, ulama sungguhan dengan enteng menggerakkan lidahnya untuk menyakiti orang lain dengan celaan dan hinaan.

Sebenarnya, keberadaan ulama karbitan atau sebangsanya (baca: yang gemar hujat-hina orang lain) cukup berbahaya untuk kesehatan pikir masyarakat kita. Pasalnya, ada sementara masyarakat yang begitu takdzim kepada sosok yang ‘diulamakan’, misal, karena memiliki ‘darah ulama’. Akhlak tercela seakan-akan dimaklumkan lantaran trahnya. Sehingga, segala yang keluar darinya, dipahami sebagai kebenaran mutlak, dan mengikutinya adalah keputusan yang tepat, mengingkarinya adalah perbuatan tercela.

Maka dari itu, di samping kita menelusuri latar belakang biologis seorang ulama, juga jangan melepaskannya dari akhlakul karimah yang melekat dalam dirinya. Satu prinsip mendasar adalah, ulama sebagai pewaris para nabi, tentu akan lebih mengutamakan akhlak ketimbang aspek lainnya. Karena, Rasulullah Saw. juga telah bersabda, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Baca juga : Ulama, Mendampingi Anak Bangsa dengan Cinta Kasih

Sebagaimana yang dikatakan Dewan Pertimbangan MUI, Prof. KH. Didin Hafidhuddin dalam pembukaan Rakernas MUI ke-3 (28/11/17) bahwa setidaknya ada tiga peran dan fungsi ulama. Ketiganya disarikan dari ayat-ayat al-Qur’an, yakni QS. Asy-Syu’araa 197, Fatir 28, dan At-Taubah 122. Di dalamnya, begitu kata Didin, ada tiga hal yang perlu ada dalam diri seorang ulama, sebagai pewaris para nabi. (republika.com/2017)

Pertama, ulama itu orang yang tafaqquhu fiddin, memahami agama secara mendalam. Kedalaman pemahaman ini akan berefek pada kepercayaan masyarakat kepadanya, karena kedalaman tersebut menjadi bekal ulama untuk menjawab persoalan umat, keluh kesahnya. Praksis, begitu umat merasa terpecahkan persoalannya setelah sowan ke ulama, mereka akan menjadikan ulama tersebut teladan.

Kedua, memahami perkembangan zaman. Pantang bagi ulama untuk stagnan, dan menolak perkembangan zaman, kolot. Ulama mesti mampu menangkap semangat zaman, lalu melakukan semacam modifikasi dalam gerakan dakwahnya, meski spiritnya tetaplah sama, bersumber pada al-Qur’an, al-Hadits, dan akhlak para sahabat serta orang saleh. Pun tidak menolak perkembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana dulu pernah dilakukan KH. Ahmad Dahlan dalam merintis gerakan pembaruannya; mempelajari agama sekaligus ilmu pengetahuan. Dan tentu, ulama-ulama lain yang tak bisa disebutkan satu-satu.

Ketiga, memiliki akhlakul karimah. Inilah yang terpenting di samping kedalaman  agama dan mengikuti perkembangan zaman. Pasalnya, bermodal aklakul karimahlah, Rasulullah Saw. berhasil melebarkan sayap dakwah Islam tidak hanya di kalangannya, melainkan juga ke Nashrani, Yahudi, dan penganut kepercayaan lainnya. Hingga kini melintasi skat negara; dan Islam pun tersebar di berbagai penjuru dunia.

Bermodal tiga kriteria tersebut, ulama-ulama kita tempo dulu nyatanya berhasil membawa kepulauan Indonesia ke konsensus bersama, yakni negara kesatuan. Pada saat Bung Besar ragu untuk proklamasi kemerdekaan, Ulama juga berperan untuk mendesaknya, supaya mantap dengan keputusan proklamasi tersebut. Sehingga, jadilah Indonesia merdeka dan rakyatnya bisa menghirup udara segar tanpa merunduk di ketiak penjajah.

Kepada ulama yang semacam inilah, ketakdziman umat ditujukan. Jangan percaya kepada orang yang mendaku ulama, sekalipun memakai ‘baju takwa’, ketika ia masih gemar mencela-hina liyan, hanya karena beda pendapat atau kekhilafan yang dibuat; apalagi karena alasan politik praktis.

Kita memang harus cerdas untuk menilai keulamaan seseorang. Mereka yang mengajak pada persatuan lintas suku, ras, agama, golonganlah yang berhak menyandang gelar ulama. Karena ulama pada dasarnya adalah guru bijak yang tak kenal lelah merajut persatuan.

Imron Mustofa

Admin Online Blog Garawiksa Institute. PU LPM Paradigma Periode 2015/2016

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago