Mengapa sebagian kelompok masih gemar menyuarakan perang dengan dalih agama? Pertanyaan ini seringkali terungkap dan menjadi PR besar untuk dikaji. Persoalan sebenarnya bukan apakah Islam melegalkan perang (qital) atau apakah ayat Quran yang berbicara tentang perang selanjutnya disalahtafsirkan. Titik pangkal yang harus diselediki bahwa ada narasi-narasi awal yang menyebabkan ayat perang mudah disalahgunakan dan disalahtafsirkan.
Sejauh ini kelompok yang rajin menggunakan ayat perang dalam konteks sosial yang tidak relevan adalah kelompok radikal terorisme. Kelompok ini tidak hanya fasih memanfaatkan ayat perang dalam tafsir yang mereka inginkan, tetapi munculnya istilah jihad dalam kasus terorisme bertumpu pada kemampuannya dalam memanipulasi fakta dan mendistorsi kebenaran peristiwa. Ayat perang hanya sebagai justifikasi dalam konteks fakta-fakta yang telah dikaburkan tersebut.
Banyak deretan ayat-ayat Quran apabila dibaca secara harfiyah terkesan menganjurkan perang. Namun, apakah ayat-ayat tersebut sudah cukup meradikalisasi seseorang untuk berperang? Dalam hal ini bahwa pemikiran keras tidak otomatis menghantarkan seseorang pada tindakan kekerasan. Namun, tindakan kekerasan mesti diawali dengan pemikiran yang keras.
Sekedar ayat perang yang terdapat dalam kitab suci tidak mungkin menghantarkan seseorang untuk bertindak perang. Apa yang ingin ditegaskan bahwa ada fakta lain yang dikaburkan sehingga mengeksploitasi ayat perang menjadi doktrin yang ampuh. Fakta yang dikaburkan ini kita sebut sebagai narasi di balik munculnya ayat perang. Upaya melakukan kontra narasi ayat perang pun semestinya tidak berhenti pada memberikan perspektif yang kontektual, tetapi juga meluruskan fakta-fakta yang telah dikaburkan tersebut. Agama hanya datang kemudian sebagai justifikasi untuk proses melakukan sakralisasi tindakan kekerasan.
Pengkaburan fakta tersebut dapat dilacak dalam narasi-narasi kelompok radikal terorisme yang pandai mengarahkan seseorang pada tindakan kekerasan. Thomas Koruth Samuel dalam Reaching the Youth: Countering the Terrorist Narative mengungkap adanya permainan emosi yang disebut secondary trauma. Secara sederhana secondary trauma sebagai proses di mana seseorang merasa ikut mengalami suasana psikologis yang hampir sama dengan orang yang mengalami trauma akibat peristiwa tragis.
Dalam kasus indoktrinasi kelompok radikal terorisme, ada peristiwa-peristiwa tragis di luar sana yang dikaburkan dan dijadikan penghantar dalam rangka menumbuhkan emosi dan perasaan yang seolah seseorang yang tidak mengalami ikut menjadi bagian korban dari peristiwa tersebut. Seseorang akan mengalami suasana psikologis yang hampir sama dengan korban konflik, perang dan kekejaman walaupun ia tidak mengalami secara langsung. Inilah eksploitasi fakta-fakta dimulai dengan menanamkan ayat perang sebagai justifikasi untuk bertindak.
Salah satu mantan teroris inisial MH yang berdomisili di Semarang mengaku proses awal direkrut ia diperkenalkan dengan video dan bacaan tentang penderitaan umat muslim. Beberapa pengalaman dari pengakuan mantan teroris lainnya semisal Abdurrahman Ayub yang menyebutkan bagaimana instuktur menggunakan video, bahan bacaan dan bahan ajar tentang isu-isu ketidakadilan Palestina Afganistan, Ambon untuk menimbulkan secondary trauma. Tujuannya adalah membangkitkan simpati, menanamkan permusuhan, dan kemarahan sebagai benih untuk tindakan kekerasan.
Kelompok teroris dikenal dengan kecanggihannya dalam menyulap beragam kejadian dan fakta untuk dieksploitasi dalam potret narasi ketidakadilan, diskriminasi, pendzhaliman kelompok tertentu terhadap umat. Berbagai kejadian yang dipersepsikan ketidakadilan yang terjadi di berbagai dunia direkayasa, diedit, dirangkai untuk menanamkan perasaan dan emosi sehingga memunculkan simpati dan benci yang melangkah pada keinginan partisipasi untuk tindakan kekerasan.
Banyak pula pengakuan mereka yang tertahan untuk berangkat ke Suriah-Irak menyatakan sebagai bagian bentuk jihad membela saudara seagama yang sedang ditindas. Mereka rela meninggalkan keluarganya dengan maksud membela umat Islam yang sedang ditindas di Irak-Suriah. Padahal sejatinya mereka tidak mempunyai informasi yang memadai tentang konflik politik yang terjadi di Irak-Suriah.
Dasar peletakan pemikiran radikal pada mulanya bukan pada indoktrinasi ayat-ayat perang yang ditafsiri secara tekstual, tetapi pada penanaman dan transfer mental ketidakadilan, permusuhan dan penanaman kebencian terhadap yang lain. Proses penanaman mental ini semakin marak dengan pemanfaatan teknologi informasi. Banyak narasi melalui kata-kata, gambar, dan video yang disebarkan di dunia maya untuk menanamkan secondary trauma.
Sebenarnya ada tiga postulat sederhana yang merangkai narasi sebagai kelompok teroris melakukan radikalisasi masyarakat. Pertama, adanya ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kelompok teroris sangat pandai mengeksploitasi fakta dan peristiwa penderitaan, musibah dan konflik di berbagai negara dan daerah sebagai bahan propaganda dalam frame diskriminasi, ketidakadilan dan kedzaliman sebagai legitimasi adanya agen-agen yang memumushi umat. Lihatlah beberapa bulan yang lalu bagaimana mereka membingkai Peristiwa politik di Mosul dan Aleppo seolah menjadi bagian dari konflik agama dan umat yang sedang ditindas.
Kedua, butuhnya tindakan nyata untuk mengatasinya. Perasaan penderitaan yang dialami korban konflik sebagai bagian dari penderitaan dirinya. Karenanya timbul einginan untuk membela saudara seagama yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan. Umat Islam sedang diserang sehingga kewajiban perang sudah harus dipenuhi. Lalu bagaimana cara membela mereka?
Ketiga, kekerasan adalah satu-satu cara yang paling mungkin dilakukan. Cara membela saudaranya adalah bukan dengan pertahanan diri tetapi dengan aksi. Impian untuk membentuk negara yang tidak melakukan kekerasan terhadap saudaranya hanya bisa dilakukan dengan kekerasan.
Dalam konteks membela dengan fisik, ayat-ayat perang diterjunkan sebagai justifikasi penggunaan kekerasan. Memberikan narasi jihad yang luas dalam bentuk lain tidak akan mampu ditangkap. Dalam mindset ini tidak mungkin ada lagi cara jihad yang kontekstual selain perang untuk membebaskan umat. Umat dalam pandangan mereka sedang diserang.
Itulah landasan naratif yang menyebabkan ayat perang menjadi sangat ampuh ditugaskan untuk meradikalisasi masyarakat. Karena itulah, masyarakat tidak hanya dituntut mewaspadai ayat-ayat perang yang ditafsirkan secara sempit, tetapi juga harus mewaspadai narasi yang medistorsi fakta untuk mengeksploitasi emosi keagamaan. Memperkaya informasi dan wawasan serta bersikap kritis merupakan pertahanan ampuh untuk menangkal ragam narasi distortif tersebut.
This post was last modified on 3 April 2017 3:07 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…