Narasi

Menindak Tegas Ormas Anti-Pancasila

“Keduanya (Pancasila dan khilafah) tidak bisa dicapai secara ideal di Indonesia. Salah satunya harus dikorbankan. Yang harus dikorbankan siapa? Yang belum jelas, belum nyata, dan bisa membawa ancaman, namanya konsep khilafah HTI itu”.

–Prof. KH. Yudian Wahyudi, M.A, Ph.D

 Pernyataan di atas dikutip dari wawancara eksklusif dengan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dimuat di sebuah koran nasional, Minggu, 15 September 2019. Pendapat itu, tentu merupakan simpulan yang tepat dan jernih dari seorang akademisi, bahwa Indonesia telah mematenkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara berdasarkan konsensus founding fathers, untuk menengahi kubu ekstrim kanan Islam dan kubu ekstrim kiri kalangan nasionalis.

Pertama, bersetuju dengan pemikiran itu, maka membincangkan ideologi khilafah HTI dalam konteks Indonesia tidaklah relevan, apalagi, gerakan politik ini telah menjadi “sampah peradaban” yang ditolak oleh banyak negara. Artinya, masyarakat tidak setuju dengan aktivitas kelompok yang getol menyuarakan pentingnya pemerintahan Islam formal, sebab tidak relevan untuk negara Indonesia yang telah memiliki Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa.

Indonesia adalah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, tetapi tidak menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Apakah itu salah? Tidak. Justru inilah khas dan keunikan bangsa kita. Mengapa demikian? Sebab bangsa kita dihuni tidak hanya oleh satu umat, dan meski umat muslim menjadi mayoritas, juga terbagi ke dalam berbagai kelompok, aliran, dan organisasi.

Kedua, tidak hanya untuk HTI, tapi kepada organisasi-organisasi lain yang menolak Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa, dan ada usaha untuk berkampanye hendak menggantikannya dengan ideologi lain, entah sistem khilafah maupun “NKRI bersyariah”, sejatinya oleh pemerintah ditindak tegas, tidak lagi diberi ruang gerak aktivitas. Pertimbangan ini merupakan pilihan tepat sebagai langkah preventif agar tidak terjadi bahaya/kerusakan (mafsadat) di kemudian hari.

Baca juga : Gerakan “Civil Society” dalam Pusaran Ormas Radikal dan Populisme Islam

Kehadiran kelompok pro-khilafah mengingatkan publik pada PKI (Partai Komunis Indonesia) era orde lama (termasuk juga orde baru), yang keberadaannya juga ditentang oleh masyarakat luas hingga berakhir tragis lewat peristiwa 1965. Hanya saja, tipologi dan materi gerakannya berbeda, tetapi memiliki kesamaan visi-misi, yaitu merebut kekuasaan (legal maupun illegal dengan cara chaos) dan jika berhasil akan merombak total sendi-sendi kebangsaan.

 

Pancasila dan restu tokoh agama

Rakyat Indonesia memiliki trauma yang mendalam terhadap keberadaan PKI, maka dari itu, gerakan politik praktis maupun ekstraparlementer yang mengusik Pancasila, NKRI, kebhinekaan, UUD 1945, akan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari, berbangsa, dan bernegara. Mengapa demikian? Karena Pancasila merupakan hasil musyawarah yang disepakati oleh founding fathers; “perjanjian luhur”, sebuah “piagam” yang harus dihormati dan dijalankan, sebagaimana perintah dalam ayat al-Qur’an,  awfu bi al-’uqud (penuhilah/jalankan apa yang sudah menjadi konsensus/kesepakatan).

Mereka yang pro-khilafah sesungguhnya tidak punya basis dukungan dan teladan dari tokoh yang menjadi saksi sejarah terhadap lahirnya negara Republik Indonesia. Perumusan Pancasila telah disetujui oleh berbagai lapisan dan tokoh masyarakat dan agama, sebagaimana terekam dalam sidang BPUPKI I dan II. Di dalam sidang itu, sekadar menyebut nama-nama tokoh penting (ulama), misalnya, ada Ki Bagus Hadikusumo, orang Muhammadiyah yang bahkan kala itu masih menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah periode 1942-1953 dan KH. A. Wahid Hasyim, putra dari pendiri NU hadratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Berdasarkan fakta tersebut, jikalau ada individu atau kelompok yang menolak Pancasila dengan dalih apapun, berarti secara langsung tidak memercayai hasil ijtihad politik yang telah dirumuskan oleh minimal dua tokoh ormas Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, Ki Bagus Hadikusumo dan KH. A. Wahid Hasyim. Selain itu, perbincangan soal perlu tidaknya menjadikan Islam sebagai dasar dan ideologi negara adalah isu klasik, yang sebenarnya dalam pengalaman negara Indonesia telah selesai-tuntas saat sidang BPUPKI yang melahirkan Pancasila.

Lalu, untuk apa mengusik kembali dasar dan ideologi Pancasila yang telah lama mengakar kuat di dalam sanu bari bangsa?

This post was last modified on 4 Desember 2019 3:51 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

22 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

22 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

22 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago