Narasi

Meninggalkan Rasisme, Merawat Etnosentrisme

Sepekan lalu, kedaulatan dunia kembali terguncang atas beragam tindakan yang dilakukan oleh bangsa Israel. Tepatnya pada 19 juli lalu, bangsa Israel lewat parlemen (Knesset) meloloskan undang-undang yang mengancam kehidupan rakyat minoritas Arab. Melalui undang-undang tersebut, secara seksama Israel ingin membangun negara terbatas yang berada dalam satu naungan agama Yahudi. Berangkat dari kenyataan itulah, sejumlah akademisi, analisis, dan bahkan pemerintahan dunia mengecam tindakan keji yang dilakukan oleh bangsa Israel tersebut. Sebab diakui atau dimungkiri, undang-undang demikian mengandung ironitas rasisme yang tentu saja merugikan banyak pihak. Pun, kenyataan itu juga secara seksama merupakan tindakan eksploitasi yang mengancam masyarakat minoritas Arab, termasuk Palestina.

Rasisme dalam pandangan Wiliams (1990) didefnisikan sebagai faham yang berhubungan langsung terhadap perilaku, suku, ras, nilai-nilai, perlakuaan, kelompok, ciri-ciri fisik dan sifat-sifat yang berbeda pada sebagian kelompok lain. Perbedaan itulah yang dianggap tak bisa diselaraskan hingga tak layak untuk hidup berdampingan. Pandangan rasisme seperti yang diungkapkan Wiliams tersebut, pada kehidupan nyata mengalami afiliasi yang bahkan jika diruntut ke belakang mendapatkan perlawanan dari banyak pihak. Termasuk apa yang dilakukan oleh bangsa Israel lewat undang-undang yang dipaparkan pada dunia sepekan lalu, setidaknya menjadi noda hitam bagi perdamaian di dunia.

Sebab dilahirkannya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa di Fransisko pada tahun 1945 lalu, sudah seharusnya menenggelamkan beragam bentuk kejahatan yang berhubunagn dengan kemerdekaan setiap bangsa. Akan tetapi, dengan melihat kenyataan yang terjadi pada belakangan ini, duka perdamaian dunia telah terusik atas kelaliman yang dilakukan oleh bangsa Israel. Terlepas dari kedhaliman demikian, dalam buku “Mitos dan Politik Israel” mantan Hakim Agung Israel, Haim Cohen menyatakan bahwa “nasib pahit yang dulunya menimpa Israel telah menetapkan tesis-tesis yang rasis dan biologis yang sama, yang dipropagandakan oleh Nazi dan menginspirasi UU Nuremberg yang hina telah menjadi dasar definisi keyahudian yang menjadi jantung Israel” (Lihat: Josep Badi Fundamental Laws Of the State of Israel).

Merujuk pada apa yang diakatakan oleh Haim Cohen demikian, secara historis Israel telah mendapatkan banyak luka yang digulirkan oleh pemerintahan dunia. Kendati demikian, sesungguhnya luka-luka itu juga diakibatkan oleh kecongkakan dan kesombongan bangsa israel sendiri. Singkat cerita, pada masa Nabi Yusuf,  bangsa Israel mulai mendapatkan kehidupannya dan berkembang di daerah Mesir. Dan di penghujung masa Nabi Sulaeman, mereka mengalami masa kejayaannya. Bermula dari kejayaan itulah, yang menyebabkan mereka bertingkah laku sombong dan bahkan kerap kali melakukan pemberontakan. Hingga pada masa Raja Firaun, mereka hidup dalam keadaan terlunta-lunta dan banyak masyarakatnya yang menjadi budak semata (baca: Sejarah bangsa Israel dalam Bibel dan al-Quran).

Lewat kenyataan pahit itulah, kemudian Allah menurunkan Musa untuk menyelamatkan bangsa Israel dari arah perbudakan Firaun. Dengan mengambil langkah pedih dan berliku, pada akhirnya mereka diwarisi “tanah” yang dijanjikan oleh Allah (Qs. al-Baqarah :58). Tanah yang dijanjikan demikian tak lain ialah Bait al-Maqdis yang saat ini disapa dengan nama Yerussalem. Hanya saja, karena di dalamnya terdapat penghuni yang memiliki kekuatan dan jumlah yang sangat banyak, bangsa Israel ketakutan, hingga mengatakan “pergilah kamu bersama Tuhanmu, Wahai Musa. Kami akan duduk-duduk dan menunggumu di sini” (Qs. al-Maidah: 24). Sebab tindakan pecundang yang dilakukan bangsa Israel itulah, yang pada akhirnya menyebabkan mereka dilaknat oleh Allah dan diharamkan bagi mereka tanah yang dijanjikan tadi.

Merawat Etnosentrisme

Beranjak dari kisah pahit di atas, pada awal penjajahan Palestina, Dr. Mohammad Nasih (2014) juga mengatakan bahwa hakikat sesungguhnya yang sedang dilaksanakan oleh bangsa Israel adalah merebut tanah yang dijanjikan. Dan benarlah, tanah Yerussalem untuk saat ini dikooptasi hingga ironi rasisme juga kembali menghantui dunia. Terlepas dari kenyataan demikian, perlu disadari bahwa rasisme di dunia ini sesungguhnya telah menyalahi kodrat kehidupan yang dicanangkan oleh Tuhan. Sebab, kehidupan yang beranekaragam adalah keniscayaan yang mau tidak mau harus ditata dan diselaraskan oleh segenap bangsa di dunia. Melalui itu, kelindan kehidupan yang sesungguhnya akan terasa, sebab keanekaragaman itu adalah anugrah  untuk melengkapi kebutuhan bersama.

Bahkan seperti yang telah disebutkan dimuka, bahwa tindakan rasisme pada beberapa dekade lalu telah menimbulkan kontroversi yang ironis. Karena itulah, Jones (1981) melakukan serangan-serangan pada faham rasisme dengan membedakan pada dua istilah yang berbeda. Rasisme dan Etnosentrisme. Etnosentrisme adalah lawan kata yang menjelaskan tentang hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Ia didevinisikan sebagai faham yang mengatur tentang perbedaan hidup. Baik dari ras, agama, suku, bangsa, perilaku, karakteristik, dan nilai-nilai kehidupan yang berbeda, namun tidak menyalahi norma-norma kemanusiaan yang berlaku. Itulah karunia yang senantiasa diniscayakan agar berada dalam koridor kehidupan yang semestinya. Bersatu padu, saling bahu membahu, melengkapi kekurangan dari satu ras kepada ras lain.

Sikap etnosentrisme pada koridornya bisa disematkan dalam jati diri bangsa Indonesia. Meski berada dalam tekanan kehidupan yang berbeda-beda, namun karena terpangku dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadikan erat persaudaraan antar agama, suku, ras, dan bahasa. Bahkan tak jarang, kenytan demikian menjadi bulan-bulanan yang diirikan oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Sudah saatnya, kita mengajari kepada bangsa-bangsa luar untuk senantiasa membangun rajutan kokoh kebhinekaan. Tujuannya, agar beragam bentuk perbedaan tak menjadi jalan perselisihan yang meredupkan semangat kebhinekaan di dunia. Mari kita ajak pemerintahan dunia untuk bahu membahu menanggalkan ironitas rasisme yang masih tersisa di dunia. Sudah saatnya kita bersama merawat anugrah perbedaan untuk membangun dunia yang berkeadilan dan tak pernah luput dari kedamaian. Wallahu a’alam bi al-shaawab.

Moh Nurul Huda

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago