Narasi

Menjadi Generasi Muda Bervisi Kebangsaan di Abad Digital

Telah kita ketahui bersama bahwa generasi muda sangat lekat dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di abad digital ini. Oleh karena itu, kehadiran generasi muda muslim bervisi kebangsaan ini sangatlah penting. Tujuannya adalah selain menyuarakan Islam yang ramah dan rahmah dalam balutan Islam wasathiyah, mengeliminasi hoax dan ujaran kebencian yang masih marak, juga menghalau doktrin radikalisme-terorisme di ruang-ruang digital. Dan untuk melawan doktrin radikalisme-terorisme tersebut sangat strategis jika adanya kolaborasi serta melibatkan generasi muda muslim bervisi kebangsaan dengan tokoh yang punya pengaruh besar di dunia digital, seperti influencer atau youtuber.

Adapun narasi atau konten dakwah yang diusung oleh generasi muda muslim bervisi kebangsaan bisa melalui dengan pendekatan wasathiyah. Adapun kata wasath atau wasathiyah dan memiliki arti yang sama dengan kata-kata seperti tawassuth (tengah), i’tidal (kebenaran), dan tawazun (keseimbangan). Seseorang yang menerapkan prinsip wasathiyah dapat disebut wasith. Dalam bahasa Arab, kata wasathiyah juga diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apapun kata yang digunakan, semuanya memiliki arti yang sama, keadilan, yang dalam hal ini berarti memilih jalan tengah di antara berbagai opsi ekstrem. Jadi, secara umum, moderasi berarti mengedepankan keseimbangan keyakinan, moral, dan karakter dalam memperlakukan orang lain sebagai individu dan dalam berurusan dengan lembaga negara (Kementerian Agama RI, 2019).

Berdasarkan ruang lingkup dari visi kebangsaan tersebut, setidaknya konten-konten yang diposting oleh generasi muda bervisi kebangsaan setidaknya mengandung pesan-pesan diantaranya pertama tawassuth yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip menempatkan diri dalam posisi di tengah-tengah (moderat) antara dua ujung tatharruf (ekstremisme). Ini berlaku dalam berbagai masalah dan keadaan. Kedua, i’tidal yang berarti tegak lurus, berlaku adil (al-adl). Artinya, tidak berpihak kecuali kepada yang benar.

Ketiga, tasamuh (toleransi) yaitu sikap toleran yang berarti penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Aneka pikiran yang muncul dan tumbuh di tengah masyarakat muslim adalah sebuah keniscayaan dan selayaknya mendapat pengakuan. Sikap terbuka yang demikian lebar untuk menerima segala jenis perbedaan pendapat.

Toleransi harus selalu kita terapkan, terlebih dalam kehidupan beragama. Indonesia merupakan negara yang heterogen (plural), di mana keberagaman adalah suatu keniscayaan. Oleh karenanya, sikap toleransi merupakan hal penting untuk berinteraksi dalam kebhinekaan ini. Tanpa sikap toleransi ini, hubungan antar agama akan menjadi keruh, merasa paling benar, mau menang sendiri, serta bisa dipenuhi konflik dan pertikaian.

Keempat, tawazun (berimbang) yang mengandung maksud sikap seimbang dalam berhikmat demi terciptanya keserasian antara hubungan Allah SWT dengan manusia. Sikap fanatik yang berlebihan akan memicu klaim bahwa golongan dan atau pendapatnya suatu individu/kelompok adalah yang paling benar, sehingga selain itu dianggap salah dan sesat.

Su’udin Azis (2019) menjelaskan bahwa maksud dari istilah tawazun atau berimbang yaitu sikap harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil untuk memproduksi sebuah keputusan yang bijak dan maslahat bagi umat. Tawazun ini merupakan manifestasi dari sikap keberagaman yang anti terhadap sikap ekstrem (tidak menghargai perbedaan pendapat).

Sudah saatnya pesan-pesan Islam rahmatan lil ‘alamin kita siarkan baik di dunia nyata maupun di jagat maya. Untuk mengkampanyekan tersebut tentunya membutuhkan inovasi dari para generasi muda muslim melek digital yang selama ini familiar dengan internet. Dan untuk membumikan Islam wasathiyah kepada masyarakat digital sebagai jalan membendung doktrin radikalisme-terorisme patut memperhatikan peluang dan potensi penggunaan media-media ini, termasuk misalnya pelibatan influencer di dalamnya. Oleh karenanya kehadiran generasi muda muslim berwawasan kebangsaan sangatlah penting dalam menciptakan ekosistem dakwah digital yang ramah dan rahmah.

This post was last modified on 13 Juni 2023 12:23 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

2 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

2 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

1 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

1 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

1 hari ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago