Saban kali seorang muslim pergi haji, doa yang terucap adalah “semoga menjadi haji mabrur”. Namun, sebagian dari umat Islam kerapkali belum memahami sepenuhnya apa kriteria seseorang layak disebut haji mabrur.
Seturut hadist Nabi Muhammad, seseorang dikatakan haji mabrur ketika sepulang ibadah haji menunjukkan setidaknya ciri perilaku. Pertama, thayyibul kalam yakni selalu berucap dan berturu kata yang baik, baik dari segi isi maupun cara. Seorang dikatakan mabrur hajinya manakala ia menunjukkan perubahan dari segi lisan.
Bila sebelum berhaji ia kerap mengumbar omong kosong, maka sepulang haji ia akan memilah omongannya dan hanya berbicara yang bermakna saja. Bila sebelum haji ia kerap berkata kasar; memakai atau mengumpat, maka sepula haji ia menjadi pribadi yang sopan, lembut, dan santun tutur katanya.
Kedua, isyfa’us salam yakni komitmen menebarkan perdamaian diantara sesama muslim dan umat manusia. Ritual haji pada dasarnya adalah mensucikan segala nafsu negatif dalam diri manusia. Antara lain sikap serakah, egois, mau menang sendiri, dan segala hal yang berprofesi menimbulkan konflik dan perpecahan sesama manusia. Maka, seseorang bisa dikatakan haji mabrur manakala ia bisa menghapus semua nafsu konfliktual tersebut dan menjadi penyebar kedamaian bagi sesamanya.
Ketiga, ith’amut tha’am yakni memiliki kepedulian kepada sesama manusia. Mabrur tidaknya haji terlihat dari meningkatnya kepedulian dan solidaritas kemanusiaan pasca pulang dari Tanah Suci. Jika sepulang dari berhaji seorang muslim menunjukkan peningkatan kesalahelan sosialnya, maka dipastikan hajinya diterima oleh Allah SWT. Kepedulian sosial adalah wujud dari mabrur-nya haji seorang muslim.
Mengejawantahkan Esensi Haji dalam Kehidupan Bermasyarakat dan Beragama
Dalam konteks Indonesia, seseorang yang telah berhaji kerap mendapat kedudukan terhormat di masyarakat. Bahkan secara khusus, gelar Haji kerap disematkan di depan nama atau gelar akademik. Hal itu tentu sah-sah saja, selama tidak menimbulkan perasaan sombong. Namun, yang lebih esensial dari haji itu bukanlah titel atau gelar, melainkan bagaimana para haji itu mampu mengejawantahkan esensi haji dalam kehidupan bermasyarakat.
Pesan utama haji bisa kita lacak dari khutbah Nabi Muhammad saat melaksanakan haji perpisahan (Wada’). Di Padang Arafah yang tandus dan disaksikan jemaahnya, Rasulullah mewariskan setidaknya enam wasiat penting bagi umat Islam.
Pertama, tentang perlindungan harta dan nyawa manusia. Rasulullah melarang segala bentuk perampasan terhadap harta apalagi nyawa manusia atas nama apa pun. Pesan ini menggambarkan komitmen Islam untuk memberikan jaminan perlindungan hak-hak dasar manusia manusia, yakni hak hidup dan hak atas kepemilikan. Menariknya, kesadaran itu muncul jauh sebelum masyarakat modern mengenal konsep hak asasi manusia.
Kedua, tentang kepemimpinan dan amanah. Rasulullah menegaskan bahwa seseorang yang diberi kepercayaan harus berlaku amanah, alias jangan munafik. Pesan ini menunjukkan komitmen Islam bahwa kehidupan di dunia diatur sedemikian rupa berbasis pada kepemimpinan yang amanah.
Ketiga, pesan tentang kewajiban membayar denda (dam) bagi pelaku pembunuhan. Pesan ini menegaskan tentunya penegakan hukum yang tegas lurus. Bahwa harga nyawa manusia itu tidak murah, dan segala bentuk kejahatan kemanusiaan harus dibayar dengan hukuman yang setimpal.
Keempat, pesan untuk meninggalkan riba. Yakni praktik ekonomi eksploitatif yang menindas orang kecil. Larangan riba ini pada dasarnya merupakan bentuk komitmen Islam untuk mewujudkan keadilan dalam ekonomi dan ranah sosial lainnya.
Kelima, pesan tentang pentingnya para suami memperlakukan istri dengan kasih sayang. Pesan ini menegaskan pengajuan atas harkat dan martabat perempuan yang setara dengan laki-laki. Lagi-lagi, dalam konteks ini peradaban Islam lebih maju ketimbang Barat yang baru mengenal istilah kesetaraan gender di era modern ini.
Keenam, pesan agar umat senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyyah dan jangan mudah diadu-domba untuk berkonflik apalagi berperang. Pesan ini menyiratkan pentingnya perdamaian dan persatuan muslim dan seluruh umat manusia.
Implementasi Pesan Khutbah Wada Sebagai Solusi Krisis Kebangsaan
Pesan khutbah haji Wada Rasulullah itulah yang idealnya dibawa pulang oleh para jemaah haji. Tidak terkecuali jamaah asal Indonesia. Bangsa ini sekarang tengah membutuhkan sebuah pencerahan yang bisa menuntun keluar dari segala problem ekonomi, sosial, politik, budaya, dan agama.
Dalam konteks ekonomi, kita menghadapi problem akut berupa kesenjangan yang lebar antara kelompok kaya dan miskin. Di bidang sosial kita dihadapkan pada fenomena segregasi yakni tercerai berainya masyarakat akibat masifnya budaya individualisme.
Di ranah politik, kita dihantui oleh polarisasi alias perpecahan yang kian hari sekolah kian meruncing. Sedangkan kehidupan beragama kita belakangan ini diwarnai oleh sindrom radikalisme, ekstremisme, bahkan terorisme yang merusak persaudaraan keislaman dan mengancam keutuhan bangsa. Enam pesan pokok khutbah haji Wada Rasulullah itu kiranya bisa menjadi semacam pedoman bagi bangsa untuk keluar dari krisis ekonomi, politik, sosial, dan agama.
This post was last modified on 5 Juli 2023 2:26 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…