Narasi

Menjadi Santri, Menjadi Indonesia

Beberapa hari lalu saya menyimak obrolan Gita Wirjawan dan Ismail Fajrie Alatas dalam siniar di kanal @gwirjawan. Diskusinya menarik, terkait sejarah Islam yang jarang diceritakan, menguak masa keemasan islam dan keruntuhannya. Dari situ juga saya terpantik pada yang disampaikan Ismail, di mana ia menilai bahwa pesantren adalah pendidikan tradisi yang tidak bisa disama-selaraskan dengan pendidikan modern.

Pandangan Ismail itu mengingatkan saya pada kolom yang pernah ditulis oleh Mabub Djunaidi berjudul Dinamisasi Via Binatang. Mahbub menulis itu bukan tanpa sebab. Ia menulisnya karena ada rencana aneh yang direncanakan Menteri Agama, Mukti Ali.

Mukti Ali kala itu merencanakan agar pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar ilmu agama saja. Ia ingin menjadikan pesantren sebagai pusat peternakan juga. Sebagai produsen ayam dan telurnya, sehingga mampu memproduksi pangan untuk santri dan masyarakat umum.

Ide modernisasi Mukti Ali itu langsung saja ditanggapi dengan cas cus melalui tulisan oleh Mahbub. Gaya satirenya merasionalisasikan sesuatu yang tidak rasional yang akan dilakukan Menteri Agama waktu itu. Hal tak rasional itu adalah pesantren yang dipandang hanya peranan mulut saja, maka santri harus juga menggerakkan tangannya – dengan beternak itu.

Mahbub dengan tegas menolak usaha modernisasi seperti itu, dalam bahasa Mahbub; dinamisasi via binatang. Secara tersirat Mahbub menolak modernisasi dengan cara itu. Mahbub masihlah menganggap bahwa pesantren adalah balai ruhani. Sehingga kurang lah tepat jika pesantren dijadikan sarana produksi telur atau ayam ternak.

Lalu, bagaimana dengan fenomena modernisasi pesantren yang gencar di mana-mana? Atau bahkan fenomena standarisasi-penyelarasan kurikulum pesantren itu sendiri? Bukankah itu sudah menjadi kebutuhan pesantren hari ini?

Baik, mari perlahan memaknai modernisasi dengan bijak. Wacana modernisasi ini sebenarnya wacana kolonial, sehingga suatu hal yang tidak seperti gagasan atau perilaku Eropa atau Amerika adalah ketinggalan. Maka dari itu, modernisasi bukanlah satu-satunya ide kemajuan, bisa jadi modernisasi itu adalah jurang yang siap menerima siapa saja yang mampus terpelosok ke dalam.

Bangsa ini jangan lah lalu terlena dengan modernisasi pesantren. Pesantren adalah model pendidikan khas bangsa ini, yang mana masih lah bertahan berabad-abad. Bukan pula menafikkan sekolah atau pendidikan modern. Saya kira, keduanya saling melengkapi.

Pesantren sebagai pendidikan tradisi memiliki prinsip untuk melahirkan manusia-manusia yang kuat secara ruhani dan jasmani. Dalam rangka menjadi manusia ruhani, maka di pesantren mendidik santrinya untuk bisa berelasi baik dengan Allah, manusia, dan alam. Sedangkan, dalam jasmaninya, di pesantren juga diajarkan bela diri atau sejenisnya.

Pinjam istilahnya Mahbub bahwa pesantren adalah balai ruhani atau rumah keruhanian. Jika dimaknai bersama, pesantren adalah tempat semua orang menempa dirinya untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih dewasa, dan lebih bijaksana. Oleh sebab itu, di pesantren diajarkan tasawuf, akidah, dan fikih. Ketiga itu lah pondasi dari balai ruhani itu.

Ketiga pondasi itu bukan sekadar keterampilan kasar atau halus. Ketiga pondasi itu butuh ditirikati setiap saat. Masih ada pondasi-pondasi penunjuang dalam menguatkan pondasi yang ada. Alhasil, pesantren tidak bisa meninggalkan pondasi-pondasi itu. Karena, sekali lagi, pesantren bukan menciptakan robot, tapi pesantren melahirkan manusia yang manusia.

Manusia yang seperti apa? Manusia yang berbudi luhur, berilmu, dan bermanfaat bagi semua makhluk. Tugas manusia sebagaimana dalam pesan agama adalah mengabdikan diri untuk kemanusiaan, ketuhanan, dan tentu kealamiahan – menjadi hamba dan pemimpin di muka bumi. Dari sana lah, maka sangatlah salah kaprah jika pesantren memiliki pondasi lain yang mau dikuatkan dengan dalih modernisasi dan lainnya.

Pesantren melahirkan santri-santri yang berkarakter nusantara, berkarakter Indonesia. Seperti apakah itu? Ya seperti idealnya manusia Indonesia yang mencinta tradisi dan kebudayaannya. Manusia Indonesia yang tepa slira, santun, dan gotong royong. Santri juga diajarkan untuk beretika nusantara, beretika Indonesia. Oleh karena itu, menjadi santri adalah menjadi Indonesia sekaligus.

 

Selamat hari santri 2024.

Al Muiz Liddinillah

Recent Posts

Membumikan Hubbul Wathan di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…

3 hari ago

Tafsir Kemerdekaan; Reimajinasi Keindonesiaan di Tengah Arus Transnasionalisasi Destruktif

Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…

3 hari ago

Dari Iman Memancar Nasionalisme : Spirit Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Krisis Kebangsaan

Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman —…

4 hari ago

Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan…

4 hari ago

Menghadapi Propaganda Trans-Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bersatu

Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan persatuan di tengah globalisasi dan…

4 hari ago

Penjajahan Mental dan Ideologis: Ujian dan Tantangan Kedaulatan dan Persatuan Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah melalui perjalanan panjang penuh tantangan.…

4 hari ago