Narasi

Menjadikan 2023 Sebagai Tahun Bebas Radikalisme dan Politik Identitas

Tahun 2023 bisa dikatakan sebagai tahun krusial bagi arah perjalanan bangsa dan negara Indonesia. Bagaimana tidak? Tahun 2023 akan menjadi tahun politik yang bisa dipastikan akan panas dan sengit. Pilpres 2024 ialah momen penentuan pergantian kekuasaan. Berakhirnya masa kepemimpinan Joko Widodo setelah dua periode berkuasa akan membuka ruang bagi tokoh-tokoh baru untuk tampil di panggung kontestasi politik nasional.

Seperti kita tahu, Pilpres bukan lah sekadar ajang suksesi atau pergantian kepemimpinan semata. Lebih dari itu, Pilpres telah menjadi semacam arena kontestasi wacana, baik itu ekonomi, politik, termasuk keagamaan. Dalam konteks wacana keagamaan, kita melihat bagaimana narasi radikalisme dan moderatisme selalu mewarnai ajang Pilpres, setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir.

Kontestasi wacana keislaman, yakni antara kelompok moderat versus radikal ini tampaknya juga akan mewarnai Pilpres 2019. Jauh-jauh hari sebelum Pilpres digelar, sejumlah kalangan telah mewanti-wanti bahwa gerakan radikal keagamaan akan mengalami peningkatan signifikan selama tahun politik 2023 dan memunjak pada pesta demokrasi 2024.

Kepala Staf Kantor Presiden, Moeldoko misalnya mengatakan bahwa ancaman terkait radikalisme dikhawatirkan akan meningkat pada tahun 2023-2024. Pendapat itu diamine oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebut bahwa ada isu Pilpres 2024 sangat rawan dimanfaatkan oleh gerakan radikal dalam memecah-belah masyarakat.

Waspada Kaum Radikal Membonceng Pilpres 2024

Pernyataan di atas tentu tidak boleh dianggap angin lalu saja. Kita patut belajar dari sejumlah peristiwa di masa lalu. Misalnya, gelombang aksi massa di momen Pilkada DKI Jakarta 2017 yang kerap kali diwarnai oleh jargon-jargon. Atau deklarasi dukungan pada salah seorang kandidat yang diwarnai oleh pengibaran bendera HTI.

Kaum radikal memang lihai berkamuflase dalam bentuk apa pun layaknya bunglon. Mereka juga punya keahlian untuk mengeksploitasi sebuah isu demi keuntungan golongan mereka sendiri. Tidak terkecuali dalam konteks Pilpres 2024. Upaya menunggangi momentum Pilpres 2024 oleh kaum radikal ini sudah tampak sejak sekarang. Salah satunya dengan munculnya narasi bahwa di tahun 2024 Indonesia akan dipimpin oleh sosok pembela umat sekaligus akan menjadi pelopor kebangkitan khilafah islamiyyah.

Tiga Langkah Agar 2023 Steril dari Radikalisme dan Politik Identitas

Maka, kita patut waspada terhadap segala manuver yang mungkin dilakukan kelompok radikal dalam menunggangi tahun politik 2023 hingga 2024. Ada setidaknya tiga langkah untuk mencegah kaum radikal menunggangi isu Pilpres 2024. Pertama, seluruh elemen bangsa mulai dari pemerintah, penyelanggara Pemilu, politisi hingga masyarakat harus bersinergi untuk menghapuskan politik identitas dan politisasi agama. Selama ini, praktik politik identitas dan politisasi agama telah melahirkan jurang polarisasi di tengah masyarakat.

Akibat eksploitasi sentimen identitas dan perbedaan agama di panggung politik, tatanan sosial kita menjadi bercorak segregatif. Masyarakat hidup dalam relasi yang dipenuhi kecurigaan, prasangka, bahkan kebencian. Siapa pun yang berbeda pilihan politik lantas dicap sebagai musuh. Situasi yang diwarnai polarisasi dan segregasi inilah yang sangat diharapkan oleh kaum radikal. Tersebab, radikalisme hanya akan tumbuh subur di tengah masyarakat yang ikatan sosialnya lemah.

Kedua, negara terutama aparat keamanannya tidak boleh lengah sedikit pun terhadap pergerakan kaum radikal. Di momen tahun politik, aparat keamanan tentu akan lebih fokus pada pengamanan seluruh tahapan Pemilu. Di titik inilah, ada potensi aparat keamanan akan menurunkan fokusnya untuk mengawasi pergerakan kaum radikal. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin mereka akan mendapatka momentum untuk bergerak lebih leluasa.

Ketiga, yang tidak kalah pentingnya ialah para elite politik idealnya menerapkan praktik politik dan demokrasi yang sehat dan santun. Kampanye idealnya menjadi ajang menawarkan program dan solusi atas problem kebangsaan. Bukan justru menjadi ajang tebar kebencian kepada lawan. Para elite politik idealnya juga tidak membawa narasi identitas dan agama ke dalam kampanye politiknya. Demokrasi yang sehat dan santun yang steril dari politik identitas dan politisasi agama akan membuat kaum radikal mati-kutu. Mereka tidak bisa lagi membonceng isu-isu Pilpres 2024 untuk memecah belah umat.

This post was last modified on 30 Desember 2022 3:32 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

45 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

47 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

49 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago