Berkaca dari pemblokiran aplikasi Telegram oleh pemerintah baru-baru ini, setidaknya kita dapat memahami bahwa kini media sosial telah disusupi oleh para pelaku radikalisme untuk menebarkan propaganda kebencian. Pun jika menelisik jauh ke belakang dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) 2014, kita dapat dengan mudahnya menemukan propaganda, ujaran maupun hasutan yang bernuansa kebencian di pelbagai media sosial. Artinya, tidak bisa dimungkiri bahwa media sosial dapat menjadi sarana yang efektif untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Terlebih, jumlah pengguna media sosial di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan data Asosiasi Jasa Penyelenggara Internet Indonesia (AJPII), dari total penduduk yang terhubung dengan internet mencapai 132,7 juta pengguna (user), sebanyak 97,4% user diantaranya memanfaatkan internet untuk mengakses akun media sosial yang dimiliki.
Di samping itu, kita mafhum bahwa saat ini pemerintah tengah gencar-gencarnya melakukan pembangunan infrastruktur di seluruh penjuru Tanah Air. Imbasnya, bertambahnya jumlah pengguna internet, terutama media sosial secara signifikan hanyalah persoalan menunggu waktunya saja. Sebab, seiring dengan bertumbuhnya pelbagai infrastruktur baru, maka sudah tentu akan diikuti dengan pertumbuhan sarana pendukung, termasuk (jaringan) internet di dalamnya. Karenanya, potensi kerawanan dari tumbuh kembangnya media sosial secara pesat di negara ini harus betul-betul diantisipasi oleh semua pihak, baik masyarakat, pemerintah maupun stake holder terkait. Dengan sinergisitas yang mumpuni dari ketika unsur tersebut, paling tidak pelbagai propaganda kebencian yang beredar di media sosial akan dapat diredam seminimal mungkin.
Menebarkan Propaganda Perdamaian
Terlepas dari hal itu, adanya potensi positif yang bisa dimanfaatkan dari adanya media sosial mutlak tidak boleh dikesampingkan. Jamak disadari, sebagaimana media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk menebarkan propaganda kebencian, media sosial sejatinya juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang sebaliknya, yakni menebarkan propaganda perdamaian. Hanya saja, memang diperlukan kerja keras dan kerja sama yang baik diantara pihak-pihak yang terlibat (masyarakat, pemerintah, platform media sosial) untuk mengoptimalkan tujuan yang demikian. Dalam konteks saat ini, upaya menebarkan propaganda perdamaian untuk melawan penyebaran propaganda kebencian di media sosial sebenarnya juga sudah dilakukan. Tetapi, upaya tersebut dapat dikatakan masih kurang efektif.
Jika ditelaah secara seksama, barangkali hal tersebut salah satunya dikarenakan tiadanya regulasi yang mengatur keharusan bagi platform media sosial untuk bekerja sama dengan pemerintah menebarkan konten-konten bernuansa perdamaian. Jamak disadari, kehadiran Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya sebatas mengatur hubungan antara pemerintah (penegak hukum) dan masyarakat sebagai pengguna media sosial. Setali tiga uang dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Secara garis besar, substansinya hanya diorientasikan bagi masyarakat saja. Alhasil, selain pemerintah menjadi terlihat berjibaku sendirian dalam memerangi propaganda kebencian, dalam menebarkan propaganda perdamaian di media sosial pun pemerintah nampak juga bekerja sendirian.
Oleh karena itu, dalam kerangka mengoptimalkan upaya menebar propaganda perdamaian di media sosial, membuat regulasi yang mewajibkan platform media sosial untuk turut andil menebar propaganda perdamaian harus segera dilakukan. Regulasi itu bisa disisipkan melalui revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE atau bisa pula dibuatkan melalui peraturan baru, baik berupa UU, Instruksi Presiden (Inpres) maupun Keputusan Menteri. Dengan begitu, platform media sosial juga mempunyai kewajiban untuk menjaga perdamaian di ranah media sosialnya masing-masing. Tidak seperti saat ini, di mana secara kasat mata platform media sosial hanya mengeruk pundi-pundi keuntungan saja, tetapi tanpa diikuti dengan kewajiban signifikan yang harus dijalankan.
Perlu disadari, potensi media sosial untuk dapat melanggengkan perdamaian di Tanah Air sangatlah besar. Maka, bahu membahu menebar propaganda perdamaian di media sosial mutlak harus dan terus digalakkan, terlebih mengingat penebaran propaganda kebencian tergolong masih sangat masif adanya. Dalam konteks itu, tentu saja kita (baca: masyarakat) tidak boleh membiarkan pemerintah hanya bekerja sendirian. Tetapi, harus pula membantu pemerintah untuk selalu menebarkan propaganda perdamaian di akun media sosial yang dimiliki masing-masing. Pun terhadap platform media sosial, kita mendorong agar ada etikad baik dari platform media sosial untuk turut andil menebarkan propaganda perdamaian meskipun saat ini belum ada regulasi yang mengharuskan tindakan tersebut. Dengan adanya etikad baik dan perjuangan dari seluruh stake holder yang terlibat, Insya Allah perdamaian akan terus tersemai di bumi nusantara ini. Semoga.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…