Narasi

Menjaga Kemurnian Simpati terhadap Korban dan Melindungi Martabat Demokrasi

Demonstrasi adalah hak konstitusional untuk menyuarakan aspirasi, tetapi tragedi yang menyertainya sering kali menorehkan luka mendalam pada demokrasi. Insiden memilukan pada Kamis, 28 Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21 tahun), tewas terlindas kendaraan taktis Brimob dalam demonstrasi buruh di depan gedung DPR, adalah salah satu titik hitam yang menguji komitmen kita pada hak dan kemanusiaan.

Affan bukan sekadar korban insiden, tetapi telah menuai simpati dan solidaritas. Peristiwa ini menggerakkan kemarahan dan emosi publik yang meluas. Namun, apakah solidaritas dan simpati harus diekspresikan dalam bentuk anarkisme? Atau jangan-jangan ada yang menunggangi kejadian ini yang mencoreng kemurnian simpati dan solidaritas.

Tragedi Affan pasca demonstrasi tidak berhenti hanya menjadi berita. Namun, Affan bukan hanya satu dari korban akibat peristiwa ini. Di kota Makassar, kekerasan yang sama menyisakan duka dengan tiga orang tewas saat gedung DPRD dibakar, dan seorang lagi, driver ojol bernama Rusdamdiansyah (“Dandi”, 26), dilaporkan tewas setelah diduga dikeroyok massa karena disangka intelijen.

Dalam konteks inilah, menjaga simpati terhadap korban adalah sebuah keharusan moral. Simpati bukan sekadar rasa iba sesaat yang larut dalam linimasa media sosial, melainkan kesadaran kolektif untuk menempatkan korban sebagai pusat perhatian. Demokrasi kehilangan martabatnya ketika korban dipinggirkan, sementara perhatian publik hanya terkuras pada narasi provokasi dan tindakan anarkis.

Pertanyaan yang harus kita renungkan: siapa yang sesungguhnya menang dari semua kericuhan ini? Jawabannya bukan rakyat, bukan pula korban yang telah kehilangan nyawa dan masa depan. Justru pihak yang diuntungkan adalah kelompok-kelompok anarko dan para pembuat onar yang menunggangi isu.

Mereka merusak substansi aspirasi dengan tindakan kekerasan, perusakan fasilitas publik, hingga penjarahan. Aksi-aksi semacam itu hanya memberi stigma buruk pada gerakan rakyat, memadamkan simpati publik, dan menutup pintu dialog yang seharusnya terbuka.

Karena itu, menjaga simpati publik terhadap korban berarti menjaga kemurnian penyampaian aspirasi. Demonstrasi tidak boleh dilucuti dari idealismenya oleh tindakan brutal yang menguntungkan segelintir provokator. Solidaritas terhadap korban harus diekspresikan melalui cara-cara produktif: doa bersama, penggalangan dana untuk keluarga yang ditinggalkan, advokasi hukum bagi yang teraniaya, dan kampanye damai untuk memastikan tragedi serupa tidak terulang.

Demokrasi sejati lahir dari rasa hormat pada martabat manusia. Korban bukan sekadar angka statistik atau nama dalam pemberitaan, tetapi simbol rapuhnya sistem yang seharusnya melindungi rakyat. Menjaga simpati berarti merawat empati, agar kemarahan tidak berubah menjadi dendam buta, dan agar aspirasi tidak direduksi menjadi sekadar letupan anarkis.

Dalam setiap duka yang ditinggalkan Affan, ASN di Makassar, maupun korban lain di berbagai daerah, bangsa ini seharusnya bercermin. Demokrasi tidak boleh tumbuh di atas darah dan air mata rakyatnya sendiri. Ia harus dirawat dengan kesadaran kolektif, bahwa setiap suara rakyat berharga, dan setiap nyawa adalah suci.

Solidaritas sejati bukanlah dengan membalas kekerasan dengan kekerasan, melainkan dengan memperjuangkan keadilan melalui cara yang bermartabat. Pada akhirnya, simpati terhadap korban adalah benteng terakhir bagi martabat demokrasi.

Selama simpati itu tetap hidup dan dijaga, maka harapan untuk menghadirkan demokrasi yang manusiawi dan adil akan selalu menyala, meski badai provokasi dan anarki berusaha memadamkannya.

Nurhana

Recent Posts

Memahami Pesan Kebangsaan Presiden Prabowo: Waspada Aksi Demonstrasi yang Mengarah pada Tindakan Makar dan Terorisme!

Belakangan ini, sejumlah aksi demonstrasi di Indonesia berubah menjadi ricuh. Apa yang semula dimaksudkan sebagai…

7 jam ago

Mujahid Demokrasi: Kisah Affan Kurniawan dan Seruan Solidaritas Tanpa Anarkisme

Hari Kamis, 28 Agustus 2025, seharusnya menjadi hari demonstrasi damai bagi rakyat untuk mengekspresikan kegelisahan…

7 jam ago

Menemukan Tuhan dalam Kecerdasan Buatan

Pergeseran budaya digital telah mendorong Kecerdasan Buatan (AI) ke garda depan wacana global, dan kini…

3 hari ago

Post-Truth dan Ilusi Kebenaran Versi AI; Awas Radikalisasi di Media Sosial!

Era digital menghadirkan perubahan besar dalam cara manusia memandang, menyebarkan, dan menerima informasi. Media sosial…

3 hari ago

Menjadikan AI sebagai Senjata Kontra Radikalisasi

Di era digital seperti saat ini, peran media sosial dan teknologi informasi semakin mendalam dalam…

3 hari ago

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

4 hari ago