Kebangsaan

Kembali Bersatu, Jaga Indonesia: Belajar dari Pedihnya Provokasi

Di tengah puing-puing dan reruntuhan bangunan pasca demo, ada gelombang besar semangat yang mempersatukan seluruh pihak. Kerusakan halte, bangunan dan jalanan bekas kebakaran pasca-demo di Jakarta menandai semangat hangat kemanusiaan kembali menyala. Warga, petugas kebersihan, aparat TNI, hingga pengemudi ojek online (ojol) bersatu bergotong-royong memulihkan kondisi.

Di Halte Transjakarta Senen, misalnya, masyarakat bersatu membersihkan sisa kehancuran dengan sentuhan solidaritas nyata . Suasana serupa juga terlihat di Mako Brimob Kwitang dan area sekitar Polres Jakarta Timur. Masyarakat bersatu padu membersihkan jalan dan yang paling penting memulihkan kepercayaan.

Tidak hanya di Jakarta, beberapa pemandangan serupa terjadi di berbagai daerah. Masyarakat, petugas kebersihan dan aparat kembali bersatu padu memulihkan kondisi dan suasana. Semua ini menunjukkan bahwa walau demokrasi sempat ditunggangi dan dirusak, semangat persatuan yang sebenarnya tidak mudah diruntuhkan.

Para pimpinan dari berbagai lembaga tinggi negara seperti Presiden, Wakil Presiden dan pejabat negara lainnya menyambangi para korban luka di RS Polri Kramat Jati—14 polisi dan tiga warga—yang menderita luka parah seperti tempurung kepala rusak, tangan putus, dan ginjal rusak. Aliansi ojol juga memberi arti baru dalam solidaritas. Mereka datang mengunjungi dan menyampaikan simpati kepada petugas kepolisian yang menjadi korban kericuhan, seperti AKP Darkun dan Aipda Supriyanta.

Semua ini menjadi pengingat bahwa hubungan kemanusiaan melampaui perbedaan tugas di lapangan. Kerusakan fisik pasca-demo bukan hanya meninggalkan bekas material, tetapi juga kepahitan sosial. Namun, respons masyarakat dan aparat yang bergandeng tangan membersihkan halte, memperbaiki pos polisi yang terbakar, hingga merawat korban, adalah refleksi paling konkret dari kebersamaan dalam kerusakan.

Momen-momen seperti ini menjadi cermin bahwa sesungguhnya warga Indonesia adalah masyarakat yang santun, ramah, dan peduli. Jalan kekerasan bukan watak masyarakat Indonesia. Meskipun sebagian sudah termakan provokasi dengan adanya tindakan kekerasan, pengrusakan dan penjarahan, rakyat memilih jalan yang memulihkan. Mereka membangun kembali fasilitas umum dan menyejukkan kembali ruang-ruang publik.

Dari Kerusakan Menuju Kebersamaan

 Potret kebersamaan masyarakat dan aparat untuk berjibaku membersihkan puing-puing pasca demo adalah cermin dari kerusakan menuju kebersamaan. Peran ojol yang biasa membantu orang dalam kesulitan kini menjenguk polisi korban kerusuhan menggemakan pesan yang kuat bahwa solidaritas tidak memandang jabatan atau lokasi.

Demonstrasi sebagai bagian demokrasihanya dimaknai sebagai aspirasi yang sehat jika dilindungi dari oknum yang memanfaatkannya untuk anarkisme atau kerusuhan. Momentum pasca-demo ini juga menjadi panggilan agar publik memelihara dialog damai dan tak terjebak narasi provokatif. Soliditas terjadi di masyarakat akar rumput, bukan tambang provokasi. Ia terbentuk dari tindakan sehari-hari yang bernilai dan membangun integritas bersama.

Ketika semua elemen—warga, pelajar, ojol, TNI, TNI hingga aparat—bersatu merawat fasilitas dan mengatasi emosi, inilah saat demokrasi Indonesia diuji: bukan dari retorika politik, tetapi dari tindakan konkret yang menunjukkan bahwa demokrasi adalah tentang solidaritas, bukan destruksi.

Semoga pemandangan bersihnya halte, rekonstruksi infrastruktur publik, dan pelukan hangat antar sesama mencerminkan semangat penyembuhan dan kuatnya persatuan yang tidak mudah dirusak oleh para provokator.

Tentu kerusakan fisik dan bangunan di berbagai daerah patut disesali dan menuntut penyelesaian jalur hukum yang jelas. Namun, bukan sekedar kerusakan fisik yang ditakutkan, tetapi rusaknya saling percaya antara masyarakat dan pemerintah. Sesungguhnya tujuan akhir pada penumpang gelap demokrasi adalah membangun keretakan sosial dan menjerumuskan masyarakat dalam chaos dan anarki.

Untuk kesekian kalinya, upaya para provokator itu belum sepenuhnya berhasil. Mereka mungkin sudah tertawa dengan pemandangan kerusakan di berbagai daerah. Tetapi, mereka masih belum puas dengan kesiagaan masyarakat dan aparat untuk memulihkan persatuan.

Karena itulah, kita dituntut selalu siaga dari segala bentuk provokasi. Kita harus segera bangkit dan siap menjaga Indonesia, bukan dengan retorika, tetapi dengan kerja nyata dari hati nurani.

mawaddah

Recent Posts

Menyelamatkan Demokrasi dari Tipu Daya Demagog dan Ashabul Fitnah

Demokrasi adalah ruang hidup bangsa. Ia bukan sekadar sistem politik, melainkan jalan bersama untuk menyalurkan…

41 menit ago

Tidak Ada Demokrasi yang Seharga Nyawa

Di pengujung Agustus 2025, demokrasi kita kembali menorehkan luka. Dua nama, Rheza Sendy Pratama di…

43 menit ago

Menjaga Kemurnian Simpati terhadap Korban dan Melindungi Martabat Demokrasi

Demonstrasi adalah hak konstitusional untuk menyuarakan aspirasi, tetapi tragedi yang menyertainya sering kali menorehkan luka…

23 jam ago

Memahami Pesan Kebangsaan Presiden Prabowo: Waspada Aksi Demonstrasi yang Mengarah pada Tindakan Makar dan Terorisme!

Belakangan ini, sejumlah aksi demonstrasi di Indonesia berubah menjadi ricuh. Apa yang semula dimaksudkan sebagai…

23 jam ago

Mujahid Demokrasi: Kisah Affan Kurniawan dan Seruan Solidaritas Tanpa Anarkisme

Hari Kamis, 28 Agustus 2025, seharusnya menjadi hari demonstrasi damai bagi rakyat untuk mengekspresikan kegelisahan…

23 jam ago

Menemukan Tuhan dalam Kecerdasan Buatan

Pergeseran budaya digital telah mendorong Kecerdasan Buatan (AI) ke garda depan wacana global, dan kini…

4 hari ago