Narasi

Menjaga Kewarasan atas Tragedi Rohingya

Rasa kemanusiaan kita sangat terusik dengan peristiwa kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Pekan kemarin, penguasa Myanmar kembali melakukan aksi militernya hingga mengakibatkan jatuh banyak korban dari kelompok etnis Rohingya. Dalam beberapa hari saja, sekitar 100 orang telah menjadi tumbal kekerasan dan ribuan lainnya harus mencari perlindungan dari dari pemerintah Myanmar.  Kejadian ini mengingatkan pada peristiwa serupa pada tahun 2015. Ketika itu, ribuan orang Rohingya terombang-ambing di lautan karena berusaha menyelamatkan diri dan mencari daerah yang aman. Diantara “manusia perahu” ini, ada yang akhirnya berhasil mendapatkan tempat berlindung (seperti di Indonesia dan Thailand). Banyak juga yang kemudian meninggal saat berada di lautan.

Meskipun mengecam tindakan keji tersebut, tetapi kita harus tetap berkepala dingin agar tidak makin memperkeruh suasana. Kesadaran seperti ini penting sebab banyak pihak yang terus-menerus “menggoreng” isu ini agar semakin membesar dan mengaitkannya dengan sentimen agama. Konflik di Rakhine memang cukup kompleks. Ada beragam persoalan di sana. Mulai dari masalah perebutan sumber daya alam, diskriminasi kewarganegaraan, isu agama, dsb. Semuanya berkelindan hingga menimbulkan ketegangan seperti terlihat saat ini. Menganggap konflik Rohingya hanya terkait faktor agama tampaknya kurang tepat, sama halnya berkesimpulan tidak adanya faktor agama dalam peristiwa ini. Maka perlu kecerdasan sekaligus kehati-hatian dalam mengeluarkan pendapat sehingga tidak menimbulkan gejolak baru di masyarakat.

Kita cukup resah dengan munculnya narasi kebencian, terkait konflik Rohingya, yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok tertentu. Misalnya di media sosial muncul beragam informasi menyesatkan dan juga provokatif terkait konflik di Burma. Tujuannya makin memperuncing masalah. Dalam konteks ini, salah satu yang menjadi sasaran tembak kebencian adalah penganut agama Budha di Myanmar. Mereka dipandang sebagai sumber masalah pembantaian etnis Rohingya. Harus diakui, memang ada pemimpin agama Budha di Myanmar yang mendukung kekerasan ini. Misalnya ada nama Ashin Wirathu yang diberi julukan The Face of Buddhist Teror oleh majalah Time. Tetapi harus diingat, banyak juga pemimpin Budha yang memiliki melawan kebijakan penguasa terhadap kelompok Rohingya. Sehingga tidak bisa digeneralisir bahwa seluruh penganut agama Budha membenci Muslim. Apalagi, jika diperhatikan, agama Budha banyak memiliki ajaran welas asih terhadap sesama.

Umat Budha di Indonesia pun telah menunjukan keprihatinannya atas pembantaian di Myanmar. Seperti dikutip dari republika.com (4/9), diantara mereka adalah Bikkhu Dhammakaro Mahathera (Organisasi Sangha Theravada Indonesia), Biksu Duta Smirti Sthavira (Sangha Mahayana Indonesia), Bikku Bhadrasradha (Sangha Agung Indonesia), Arief Harsono (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia), Suhadi Sendjaja (Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia). Diantara pernyataan sikapnya, mereka mendesak pemerintah Myanmar untuk memberikan perlindungan, bantuan, hak asasi dasar kepada masyarakat Rakhine. Mereka pun mengajak agar menumbuhkan solidaritas kemanusiaan atas krisis Rakhine, Myanmar dengan mengedepankan cinta kasih. Bahwa semua korban dan masyarakat yang terdampa adalah manusia yang setara dan serasa di hadapan tuhan.

Terkait peristiwa ini, kita patut waspada terhadap beragam hoaks yang menjadi bumbu tragedi Rohingya. Jangan mudah percaya dan terhasut oleh informasi yang tidak kredibel. Terlebih belakangan ini semakin sering lini masa kita dihujani dengan postingan video dan berita terkait kekerasan di Myanmar. Seperti foto pembakaran korban,  kumpulan tubuh yang telah menjadi mayat, ajakan untuk berperang di Myanmar, dsb. Informasi kesadisan, kebrutalan, dan provokasi semacam itu berpotensi disalahgunakan untuk memanaskan hubungan antar sesama. Sehingga harus dihindari. Sebab di dunia maya banyak bergentayangan buzzer-buzzer kebencian yang gemar menyebarkan permusuhan. Contohnya kelompok Saracen yang gemar membuat berita palsu dan kebencian.

Kita pun berharap, konflik di Myanmar tidak dibawa ke Indonesia. Biarkan hal ini menjadi urusan dalam negeri negera itu. Toh pemerintah Indonesia pun telah mengambil langkah penting untuk membantu korban Rohingya. Keharmonisan hubungan umat beragama di dalam negeri harus terus dijaga. Selain itu, kita pun bisa berkontribusi dengan cara yang lebih elegan dan beradab. Seperti memberikan donasi melalui lembaga kemanusiaan yang kredibel. Dan hal ini jauh lebih berguna dan bermanfaat daripada sekedar mengkonsumsi dan menyebarkan hoaks dan kebencian terkait tragedi Rohingya.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

4 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

4 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

4 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

4 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

1 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

1 hari ago