Narasi

Menjaga Pancasila, Menjadi Indonesia

Kekokohan Pancasila sebagai dasar dan ideologi bangsa Indonesia bukan hanya karena memang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak sama sekali bertentangan dengan ajaran semua agama, tetapi juga sejalan dengan tradisi leluhur budaya masyarakat Indonesia. Pancasila hadir sebagai jawaban atas kegelisahan founding fathers bangsa di saat bangsa-bangsa lain saat itu dekat dan bahkan memilih ideologi yang sudah ada, seperti komunisme, liberalisme, kapitalisme, dan lain-lain.

Pancasila, saat diperkenalkan oleh Soekarno pada hari terakhir sidang BPUPKI I, tanggal 1 Juni 1945, mendapat respons positif dari hadirin dan masyarakat luas, yang kemudian diresmikan pada 18 Agustus 1945. Sejak saat itulah, studi dan penggalian makna yang terkandung di dalam Pancasila dilakukan, baik oleh akademisi, politisi, pejuang kemerdekaan RI.

Soekarno berkontribusi besar dalam perumusan ideologi Pancasila ini. Pancasila, menurut pengakuan Soekarno, bukanlah “sesuatu” yang sama sekali baru, apaalagi asing di telinga masyarat Indonesia. Ia ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan bahwa dirinya adalah seorang penggali Pancasila, bukan pencipta Pancasila.

Itulah sebabnya, Soekarno menolak predikat yang diberikan oleh Prof. Mr. Notonagoro saat pengukuhan Doctor Honoris Causa di UGM sebagai “pencipta Pancasila”, tetapi ia lebih setuju sebagai “penggali Pancasila”. “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali” (PSP UGM, 2013).

Akar sejarah

Hal tersebut dapat dilacak di dalam fakta-fakta sejarah berikut. Bahwa Sebelum tumbuh kerajaan besar di Nusantara, seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatera abad 7-12 dan Majapahir di Jawa Timur abad 12-16, kehidupan masyarakat Nusantara telah menunjukkan ciri-ciri, sikap, dan perilaku yang mencerminkan penjiwaan atas sila-sila Pancasila, seperti kepercayaan kepada kekuatan gaib, toleransi, tolong menolong/gotong royong, bermusyawarah, rukun dan damai, gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja (masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila).

Istilah “Pancasila” juga digunakan sebagai acuan moral/etika dalam kehidupan sehari-hari, seperti terungkap dalam karya-karya pujangga; Empu Prapanca tentang Negara Kertagama dan Empu Tantular dalam bukunya Sutasoma. Dalam buku Sutasoma terdapat istilah Pancasila Krama, yang mempunyai arti lima dasar tingkah laku atau perintah kesusilaan yang lima, meliputi: (1) tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa); (2) tidak boleh mencuri (asteya); (3) tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha); (4) tidak boleh berbohong (amrsawada); (5) tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama) (Muljana, 2005).

Dalam buku Sutasoma, terdapat pula semboyan Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua, meskipun agama berbeda bentuk/sifatnya, namun pada hakikatnya satu, yang kemudian menjadi “motto” lambang negara kita, Bhineka Tunggal Ika.

Secara harfiah, Pancasila dapat dijabarkan ke dalam dua kata, yaitu “Panca” yang berarti lima, dan “Sila” yang berarti dasar; maka disebutlah “lima dasar”. Istilah “Sila” juga diartikan sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang/bangsa, perbuatan yang menurut adab (sopan santun), akhlak dan moral.

Dari sanalah, Pancasila disebut sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, karena nilai-nilai yang terkandung dalam sila-silanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup sehari-hari, dan dalam pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik agama, kesusilaan sopan santun maupun norma hukum yang berlaku.

Karena itu, pemahaman dan internalisasi terhadap akar sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan keniscayaan. Pancasila dengan demikian, wajib kita jaga, sebab itu menunjukkan jati diri sebagai warga negara. Menjaga Pancasila, berarti menjadi Indonesia seutuhnya.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

17 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago