Narasi

Menjaga Pancasila sebagai Ideologi Terbuka

Internalisasi terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat diperlukan saat ini untuk menangkal gerakan radikalisme. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara adalah hasil konsensus founding fathers lintas etnis, agama, dan oleh karenanya harus terus dijaga dan dijalankan oleh generasi berikutnya hingga kini.

Menjaga Pancasila tidak dalam arti “tertutup”, tetapi sebagaimana pemahaman kolektif bahwa Pancasila merupakan ideologi “terbuka”. Pancasila sebagai ideologi terbuka bukanlah berarti bahwa nilai dasarnya dapat diubah atau diganti dengan nilai dasar yang lain, karena jika itu terjadi, sama artinya dengan meniadakan Pancasila atau meniadakan identitas/jati diri bangsa Indonesia. Pancasila sebagai ideologi terbuka mengandung makna bahwa nilai-nilai dasar daripada Pancasila itu dapat dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan tuntutan perkembangan zaman.

Sebaliknya, Pancasila tidak menjadi semacam ideologi yang tertutup atau kaku yang hanya bersifat doktriner seperti halnya yang terdapat pada negara yang berpaham otoriter, di samping juga bukan sebagai ideologi yang bersifat utopia atau hanya terdapat dalam angan-angan belaka, melainkan bahwa ide-ide/gagasan-gagasan dasarnya tersebut dapat dilaksanakan.

Karena itu, mempersoalan Pancasila apakah ia layak atau tidak sebagai ideologi, sangat tidak relevan lagi. Sebab, Pancasila menurut Alfian (1991) telah memenuhi tiga dimensi sebuah ideologi. Pertama, dimensi realita, yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam ideologi secara riil berakar dalam dan/atau hidup dalam masyarakat atau bangsanya, terutama karena nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.

Kedua, dimensi idealisme, yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi mengandung idealisme yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui pengalaman dalam praktik kehidupan bersama sehari-hari dengan berbagai dimensinya. Ketiga, dimensi fleksibilitas/pengembangan, yaitu memiliki keluwesan yang memungkinkan dan merangsang pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan dengan ideologi bersangkutan tanpa menghilangkan atau mengingkari hakikat atau jati diri yang terkandung dalam nilai-nilai dasarnya.

Menjalankan fungsi Pancasila

Ideologi Pancasila dalam kehidupan kenegaraan dapat diartikan sebagai suatu konsensus mayoritas warga negara tentang nilai-nilai dasar yang ingin diwujudkan dengan mendirikan negara. Ideologi berfungsi sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan (Hidayat, 2001).

Dari pemahaman di atas, sangat besar resiko dan ongkos spekulasi jika terdapat ideologi lain yang dipaksakan untuk mengganti Pancasila. Bukankah kita telah menjalankan fungsi ideologi Pancasila ini sejak Indonesia merdeka 72 tahun lalu? Jikalau Pancasila tergantikan oleh ideologi lain, itu berarti kita akan memulai dari nol, menata kembali ketatanegaraan bangsa, dan itu jelas semoga tidak terjadi.

Kedudukan Pancasila mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan. Pancasila sebagai ideologi, bercirikan mewujudkan suatu asas kerohanian, pandanagan dunia, pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara diamalkan dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.

Karena itulah, menjalankan fungsi Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan keniscayaan bagi setiap warga negara. Pancasila memiliki konsep, prinsip, dan nilai yang merupakan kristalisasi dari belief system yang terdapat di seantero wilayah Indonesia, sehingga memberikan jaminan kokoh kuatnya sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Itulah arti penting menjaga dan menjalankan fungsi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Menjalankan fungsi ini berarti kita telah menghormati jasa para pendahulu yang berjasa besar mendirikan bangsa, dan dengan begitu, kita juga sekaligus telah menjadi warga negara yang baik.

This post was last modified on 3 September 2017 12:50 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

1 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

1 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

1 hari ago

Aisyah dan Kartini : Membumikan Inspirasi dalam Praktek Masa Kini

Dua nama yang mengilhami jutaan orang dengan semangat perjuangan, pengetahuan dan keberaniannya: Katakanlah Aisyah dan…

2 hari ago

Kisah Audery Yu Jia Hui: Sang Kartini “Modern” Pejuang Perdamaian

Setiap masa, akan ada “Kartini” berikutnya dengan konteks perjuangan yang berbeda. Sebagimana di masa lalu,…

2 hari ago

Bu Nyai; Katalisator Pendidikan Islam Washatiyah bagi Santriwati

Dalam struktur lembaga pesantren, posisi bu nyai terbilang unik. Ia adalah sosok multiperan yang tidak…

2 hari ago