Waisak tahun ini menghadirkan dua pesan penting yang sangat relevan dengan situasi global dan nasional kita saat ini: pengendalian diri dan kebijaksanaan. Dua nilai luhur ajaran Buddha ini seharusnya tidak hanya menjadi bagian dari ritual seremonial umat Buddha, tetapi juga menjadi landasan moral seluruh warga negara dalam menjaga persatuan dan kedamaian bangsa.
Dalam konteks Indonesia, negara yang majemuk dan plural, pengendalian diri dan kebijaksanaan menjadi kebutuhan mendesak, terutama saat dunia maya diramaikan oleh narasi-narasi transnasional yang berpotensi mengganggu tatanan kebangsaan dan persatuan kita.
Pengendalian diri, dalam makna spiritual dan sosial, adalah kemampuan untuk mendisiplinkan pikiran, ucapan, dan tindakan demi menghindari perilaku yang destruktif. Ia merupakan pertahanan pertama terhadap hasutan, provokasi, dan informasi yang menyesatkan. Dalam dunia digital, pengendalian diri ini penting dalam menyaring informasi, menghindari ujaran kebencian, dan menahan diri dari membagikan konten-konten provokatif yang menyesatkan.
Sementara itu, kebijaksanaan mengajarkan kita untuk melihat dunia secara lapang, memahami kompleksitas, dan berpikir jernih. Dalam konteks Indonesia, kebijaksanaan adalah kemampuan untuk memilah mana konflik yang murni bersifat internasional, dan mana yang tidak relevan atau bahkan berbahaya bila diimpor ke dalam ruang digital dan sosial Indonesia.
Melawan Narasi Importasi Konflik
Konflik antara India dan Pakistan yang baru-baru ini mencuat, menjadi celah bagi akun-akun radikal dan simpatisan kelompok teroris untuk menyebarkan propaganda. Mereka membingkai konflik tersebut sebagai bentuk agresi “Hindu atas Islam”, seraya mengutip hadis-hadis eskatologis atau nubuwwat akhir zaman yang bersifat apokaliptik. Ini adalah strategi klasik: membangkitkan rasa solidaritas semu berdasarkan identitas agama untuk memobilisasi umat.
Narasi seperti ini berbahaya karena mendangkalkan pemahaman keagamaan dan mereduksi konflik geopolitik menjadi pertarungan agama. Lebih dari itu, ia berpotensi merusak fondasi negara-bangsa yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pendiri bangsa. Indonesia bukan negara agama, melainkan negara berketuhanan, di mana seluruh umat beragama dijamin haknya dan dipersatukan oleh semangat kebangsaan, bukan oleh kesamaan iman semata.
Karena itu, dalam dimensi keagamaan, penting untuk melakukan takhrij hadis-hadis yang sering dijadikan landasan ideologi apokaliptik dan kekerasan. Banyak hadis yang dijadikan pembenar oleh kelompok radikal sebenarnya lemah sanadnya atau keliru penafsirannya. Menggugat klaim kekhilafahan berdasarkan narasi akhir zaman bukan berarti mengingkari iman, melainkan upaya menyelamatkan agama dari politisasi ekstrem yang membahayakan.
Sementara dalam aspek kebangsaan, kita harus kembali meneguhkan empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Keempat pilar ini adalah bahasa persatuan yang melampaui identitas keagamaan atau etnisitas. Di tengah gempuran propaganda transnasional, pilar-pilar ini menjadi jangkar moral dan konstitusional bagi keberlanjutan persatuan kita sebagai bangsa yang dipersatukan oleh kehendak umum.
Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…
Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…
Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman —…
Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan…
Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan persatuan di tengah globalisasi dan…
Indonesia, sebagai negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah melalui perjalanan panjang penuh tantangan.…