Narasi

Menolak Politik Identitas Berarti Mencegah Radikalisme

Kita mungkin bertanya-tanya, apa kaitannya politik identitas dengan radikalisme? Kalau kita pahami secara orientasi, politik identitas itu bersifat destruktif atas keragaman. Sedangkan radikalisme, memang sejak dulu menginginkan keragaman itu hancur.

Dari konsep di atas, kita bisa memahami satu pola. Bahwa, politik identitas ini sebetulnya adalah “benih” dari radikalisme. Maka, dari sinilah alasan fundamental menolak politik identitas, berarti mencegah radikalisme.

Sebab, kalau kita lebih mendalam memahami politik identitas. Kita akan diperlihatkan dengan yang namanya “keunggulan” di atas kebencian. Sebab, politik identitas bekerja dengan membawa identitas seperti agama sebagai truth-claim secara eksklusif dan reduksionis atas kelompok/identitas lain.

Bahwa, hanya kelompoknya-lah yang pantas menjadi pemimpin, sedangkan di luar kelompoknya dianggap tidak pantas. Klaim yang semacam ini dikuatkan dengan beragam tuduhan/fitnah/kebencian. Seperti kelompok lain kafir, sesat, musyrik, tidak sesuai dengan syariat agama.

Maka, dari sinilah radikalisme itu semakin terbentuk kuat. Memanfaatkan identitas primordial seperti agama dalam suasana politik. Untuk merobek keragaman semakin berada dalam taraf disentegritas kehancuran.

Kondisi yang semacam ini adalah tujuan utama dari kelompok radikal di negeri ini. Yaitu berupaya memecah-belah, membakar api permusuhan antar kelompok, penuh dengan fitnah adu-domba dan saling berpecah.

Sehingga, yang dikorbankan akibat politik identitas adalah kokohnya keragaman yang kita miliki di negeri ini. Sebab, politik identitas bukan mengarah ke dalam persaingan politik argumentatif. Melainkan politik sentiment antar identitas primordial.

Dalam fakta sejarah di tahun-tahun yang lalu, perhelatan demokrasi kita ternodai dengan yang namanya politik identitas. Berbagai macam narasi di platform media maya tentang ciri pemimpin yang layak menyejahterakan rakyat adalah bukan dari golongan kafir melainkan dari muslim yang bisa menegakkan syariat agama.

Narasi-narasi politik identitas yang semacam ini pada akhirnya mengacu ke dalam politik agama. Di mana, kelompok radikal tentu sejalan dengan apa yang dibangun dalam politik identitas itu. Yaitu sama-sama memiliki jalan untuk berkuasa di atas satu identitas dengan mereduksi dan menegasi identitas lainnya.

Sehingga, dari sinilah titik kesadaran penting yang harus kita miliki. Bahwa, menolak politik identitas itu adalah bagian dari cara kita mencegah radikalisme. Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas bahwa politik identitas adalah “benih” terbentuknya radikalisme.

Mengapa Saya sebut sebagai “benih” dari radikalisme? Ini tentu bukan anti terhadap identitas melainkan anti terhadap politik yang memanfaatkan identitas primordial. Karena segala peran/fungsi/orientasi politik identitas adalah disentegritas perpecahan di tengah keragaman.

Sebab, politik identitas ini akan melahirkan sebuah “sentiment” satu-sama lain. Pada akhirnya, terjadilah gesekan antar identitas: saling tuduh, saling fitnah dan penuh permusuhan antar identitas. Sehingga, melahirkan yang namanya konflik, kekacauan dan pecahnya keragaman akibat saling membawa truth-claim tadi.

Tentu, semua sepakat bahwa kunci dari melawan radikalisme adalah memperkuat persatuan di tengah keragaman. Maka, kalau kita konteks-kan ke dalam pengaruh politik identitas, tentu menjadi ancaman besar bagi retaknya keragaman itu.

Sehingga, dari sini kita juga bisa memahami. Bahwa, politik identitas akan semakin meregangkan persatuan di tengah keragaman identitas itu. Maka, kelompok yang diuntungkan adalah kelompok radikal. Dengan adanya politik identitas, benih-benih radikalisme akan terus bermunculan.

Maka, sekali lagi saya katakan secara paradigmatis. Bahwa, menolak politik identitas sebetulnya adalah cara kita mencegah radikalisme di negeri ini. Demi bangsa yang bersih dari ancaman radikalisme, maka kita harus membersihkan pesta demokrasi 2024 dari politik identitas.

This post was last modified on 26 Februari 2023 7:13 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Refleksi Harkitnas; Membangun Mentalitas Gen Z untuk Indonesia Emas 2045

Hari Kebangkitan Nasional kembali kita peringati tepat pada tanggal 20 Mei. Tahun ini, Harkitnas mengangkat…

7 jam ago

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional : Bangkit Melawan Intoleransi Berbasis SARA

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia.…

13 jam ago

PBB Sahkan Resolusi Indonesia Soal Penanganan Anak Terasosiasi Teroris: Kado Istimewa Hari Kebangkitan Nasional untuk Memberantas Terorisme

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengesahkan sebuah resolusi penting yang diusulkan oleh Indonesia, yakni resolusi yang…

13 jam ago

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

4 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

4 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

4 hari ago