Narasi

Mensucikan Diri Itu dengan Berbagi, Bukan dengan (Bom) Bunuh Diri

Di akhir Ramadan, setiap umat Islam yang memenuhi syarat wajib membayar zakat fitrah. Siapa pun yang punya kelebihan rezeki atau kebutuhan pokok untuk malam dan Hari Raya Idulfitri, wajib membayar zakat fitrah. Zakat fitrah diberikan kepada fakir, miskin, dan orang-orang yang membutuhkan.

Di sini, kita melihat zakat fitrah menjadi bentuk kepedulian kepada orang lain, yakni dengan cara berbagi makanan pokok atau uang. Zakat fitrah menjadi wujud simpati, empati, dan kepedulian kepada sesama.

Di samping menjadi bentuk kepedulian kepada yang membutuhkan, zakat fitrah juga menjadi cara untuk mensucikan diri. Seperti namanya, zakat fitrah, di mana “fitrah” berarti suci. Zakat fitrah juga bertujuan untuk mensucikan diri setelah menjani ibadah selama Ramadan.

Selain menjadi cara mensucikan diri, zakat fitrah juga bermakna pengembangan diri. Pakar tafsir Alquran, Quraish Shihab mengatakan, zakat punya dua makna: penyucian dan pengembangan. “Harta perlu disucikan dan dikembangkan. Diri kita pun demikian. Jadi, zakat fitrah adalah bentuk penyucian sekaligus pengembangan diri,” kata Quraish Shihab di sebuah video YouTube (30/5/2019).

Sampai di sini, kita melihat zakat fitrah sebagai bentuk kepedulian, penyucian, dan pengembangan. Ketiganya merupakan dimensi-dimensi penting yang dibutuhkan setiap orang untuk bisa menjadi seorang hamba “berkualitas”. Dalam arti, menjadi seorang pribadi yang suci secara spiritual, punya empati dan kepedulian, dan selalu berkembang menjadi lebih baik.

Melalui zakat fitrah atau berbagi kepada sesama, seseorang belajar membersihkan atau mensucikan diri, lebih peka dan empati dengan keadaan orang lain, serta mengalami proses pengembangan diri. Di mana semua proses tersebut dialami lewat jalan berbagi, memberi, membantu, mengasihi orang lain.

Jadi, bisa dikatakan bahwa sejauh mana kesucian diri dan perkembangan diri kita, itu semua bisa diukur berdasarkan sejauh mana kita punya kesadaran untuk mengasihi dan peduli pada orang lain, memberi, menolong, dan membantu orang lain.

Bukan menyakiti atau bom bunuh diri 

Zakat fitrah sebagai cara mensucikan diri dengan cara berbagi, menjadi relevan dijadikan refleksi dalam melihat aksi-aksi yang dilakukan kelompok radikal intoleran. Melalui zakat fitrah, kita disadarkan bahwa membersihkan atau mensucikan diri itu dilakukan dengan cara mengasihi, peduli, dan membantu orang lain.

Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan apa yang selama ini ditunjukkan kelompok radikal-terorisme. Kita tahu, sering kali mereka mengaku melakukan aksi-aksi radikal atau kekerasan seperti bom bunuh diri sebagai bentuk “amaliyah” atau dalam rangka menjalankan “tugas suci”. Karena pengaruh ideologi radikalisme agama, mereka meyakini aksi kekerasan dan kejahatan sebagai bentuk “aksi suci”. 

Bagi kelompok radikal-terorisme, “tugas suci” bukan ditunaikan dengan cara mengasihi dan berbagi sesama, tapi malah dengan menyakiti, merusak, dan bahkan membunuh sesama manusia. Bahkan, aksi-aksi seperti bom bunuh diri tersebut bisa berdampak hancurnya persaudaraan, kerukunan, dan perdamaian.

Jelas hal tersebut bertolak belakang dengan semangat yang dipancarkan dalam amal ibadah zakat fitrah yang mengajarkan kasih sayang dan kepedulian pada sesama lewat jalan memberi dan berbagi. Zakat fitrah mengajari kita bahwa sejauh mana kesucian diri kita itu turut ditentukan oleh sejauh mana kasih sayang dan kepedulian kita kepada sesama.

Tapi, kelompok radikal-terorisme merasa telah melakukan aksi suci dengan menciptakan teror bom bunuh diri, padahal itu hanya akan melukai, merusak, dan menghancurkan tatanan persaudaraan dan keharmonisan antar sesama.

Zakat fitrah menjadi cara kita mensucikan diri, dengan jalan “menjaga kehidupan” orang lain yang membutuhkan, dalam bentuk memberikan bahan makanan pokok seperti beras, gandum, atau uang. Tapi, kelompok radikal-teroris malah berangan-angan sedang menjalankan “tugas suci” dengan mematikan kehidupan atau membunuh orang lain.

Sekarang menjadi semakin jelas dan gamblang, bahwa mensucikan diri itu dengan cara berbagi dan menjaga kehidupan orang lain, bukan malah menyakiti dan mematikan kehidupan orang lain. Wallahu a’lam

This post was last modified on 4 Mei 2021 3:21 PM

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

Recent Posts

Tiga Nilai Maulid ala Nusantara; Religiusitas, Kreativitas, Solidaritas

Menurut catatan sejarah, perayaan Maulid Nabi Muhammad secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir pada…

19 jam ago

Muhammad dan Kehidupan

Konon, al-Ghazali adalah salah satu ulama yang memandang sosok Muhammad dengan dua perspektif, sebagai sosok…

21 jam ago

Meneladani Nabi Muhammad SAW secara Kaffah, Bukan Sekedar Tampilan Semata

Meneladani Nabi adalah sebuah komitmen yang jauh melampaui sekadar tampilan fisik. Sayangnya, sebagian kelompok sering…

21 jam ago

Warisan Toleransi Nabi SAW; Dari Tanah Suci ke Bumi NKRI

Toleransi beragama adalah energi lembut yang dapat menyatukan perbedaan. Itulah kiranya, salah satu ajaran mulia…

2 hari ago

Walima, Tradisi Maulid ala Masyarakat Gorontalo yang Mempersatukan

Walima, dalam konteks tradisi Maulid Nabi, adalah salah satu momen yang sangat dinanti dan dihormati…

2 hari ago

Darul Mitsaq; Legacy Rasulullah yang Diadaptasi ke Nusantara

Salah satu fase atau bagian paling menarik dalam keseluruhan kisah hidup Rasulullah adalah sepak terjang…

2 hari ago