Beberapa waktu yang lalu, situasi politik di Indonesia sedang berada di titik yang memanas. Ditandai dengan gelombang demonstrasi di berbagai daerah, baik di jalanan maupun di ranah media sosial, menandakan demokrasi bangsa ini masih sehat. Protes ini muncul sebagai reaksi terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang diusulkan oleh DPR yang otomatis seolah akan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi.
Banyak pihak yang khawatir bahwa jika undang-undang tersebut disahkan tidak hanya akan menganulir putusan Mahkamah Konstitusi, tetapi menandakan iklim demokrasi kita yang sudah mati karena dikebiri kekuasaan. Ketegangan politik ini seperti ini tidak hanya memperuncing polarisasi, tetapi juga memberikan ruang bagi kelompok-kelompok radikal untuk mengeksploitasi situasi ini demi kepentingan mereka sendiri.
Polarisasi politik merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga terjadi di banyak negara lain. Polarisasi kini menjadi tantangan serius bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air. Ditandai oleh perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara kelompok-kelompok politik, sehingga mencapai konsensus menjadi semakin sulit. Dampaknya bisa sangat merugikan masyarakat, mulai dari meningkatnya konflik sosial, menurunnya kepercayaan terhadap pemerintah, hingga adanya kepentingan lain yang memanfaatkan polarisasi.
Salah satu dampak nyata dari polarisasi politik adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika masyarakat terpolarisasi, mereka cenderung melihat segala kebijakan pemerintah melalui lensa kelompok mereka sendiri. Hal ini menyebabkan fragmentasi sosial, di mana kebijakan yang baik sekalipun bisa ditolak atau didukung hanya berdasarkan afiliasi politik, bukan pada substansi kebijakan itu sendiri. Polarisasi ini bukan hanya menghambat proses pembangunan, tetapi juga membuat masyarakat semakin tidak percaya pada lembaga-lembaga negara.
Dalam kondisi sosial-politik yang terpolarisasi, kelompok-kelompok radikal sering kali memanfaatkan ketegangan ini untuk menyebarkan ideologi mereka. Di Indonesia, kampanye yang mengusung isu khilafah sebagai alternatif sistem pemerintahan, yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila, mulai bermunculan di media sosial.
Strategi kelompok radikal ini dengan memanfaatkan kondisi sosial yang rentan ini bertujuan untuk memecah belah masyarakat dan memperlemah kepercayaan terhadap demokrasi. Mereka berusaha menciptakan narasi bahwa sistem yang ada tidak mampu menjawab tantangan zaman, sehingga diperlukan sistem alternatif yang mereka tawarkan. Dalam konteks polarisasi politik yang tajam, kelompok-kelompok ini menemukan lahan subur untuk menyebarkan ideologi radikal mereka.
Untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif dari polarisasi politik dan ancaman radikalisme, perlu dilakukan upaya penguatan terhadap lembaga-lembaga demokrasi. Pertama, partai politik, Saya kira, memainkan peran penting untuk tidak hanya bertujuan pada elektoral, tetapi juga berorientasi edukasi politik. Partai harus menjadi lembaga demokrasi yang mampu menyuarakan aspirasi, tetapi juga mampu memoderasi ketegangan, bukan memperuncing konflik.
Kedua, tidak kalah penting adalah media massa. Daya tarik media massa masih cukup kuat, meskipun media sosial telah membanjiri informasi masyarakat. Media tidak boleh mengorbankan kepentingan publik hanya mengejar informasi yang sensasional. Media harus berperan sebagai penyeimbang yang obyektif dengan mempromosikan dialog dan diskusi yang sehat bagi pihak yang bersitegang.
Ketiga, organisasi masyarakat sipil (OMS) menjadi pilar demokrasi yang paling penting. Pemberdayaan masyarakat harus dimulai dengan peran OMS dalam memfasilitasi terciptanya kesadaran masyarakat yang dewasa. OMS harus mampu menjadi daya tangkal bagi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh polarisasi.
Indonesia sebagai negara dengan kebinekaan yang luar biasa, memerlukan upaya yang terus menerus untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Polarisasi politik dan ancaman radikalisme adalah tantangan yang harus dihadapi bersama oleh semua elemen bangsa. Penguatan lembaga-lembaga demokrasi adalah salah satu kunci untuk mencegah terjadinya disintegrasi sosial dan politik.
Demokrasi tidak hanya tentang kebebasan berbicara dan berpendapat, tetapi juga tentang bagaimana kita dapat mencapai konsensus dan hidup berdampingan meskipun berbeda. Dalam konteks ini, peran tokoh-tokoh agama, intelektual, dan pemimpin masyarakat sangat penting untuk terus mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menjaga persatuan di tengah perbedaan.
Hanya dengan memperkuat lembaga demokrasi dan menjaga integritas serta kohesi sosial, Indonesia dapat menghindari dampak negatif dari polarisasi politik dan ancaman radikalisme. Upaya kolektif dari semua elemen masyarakat diperlukan untuk memastikan bahwa demokrasi tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…