Budaya

Menyegarkan Kembali Perjuangan Nir-Kekerasan

Hidup damai akhir-akhir ini menjadi sangat mahal. Setiap sudut hidup dipenuhi onak dan duri yang keras dan mencemaskan. Perampokan, pembunuhan, pembantaian dan lainnya hadir setiap saat tanpa henti. Atas nama pendidikan dan agama sekalipun, kekerasan justru semakin tumbuh subur. Naïf, karena agama dan pendidikan mengajarkan manusia menghargai kemanusiaan.

Karena kekerasan menjadi saraf hidup manusia modern ini, perlu kiranya melakukan “refreshing” untuk menyegarkan kembali jalan hidup manusia dalam menggapai kedamaian. Ada sosok menarik asal India bernama Badshah Khan. Nama ini mungkin masih asing dalam telinga kita, tetapi ia adalah pejuang yang bersama Gandi mengusir Inggris dari negaranya saat itu. India belum lahir sebagai sebuah negara.

Badshah Khan adalah seorang muslim kelahiran suku Pashtun, suku di suku di perbatasan Afghanistan dan Pakistan. Bagi suku Pashtun, tiada ampun dalam berperang, balas dendam adalah kenisacayaan. Tidak ada alasan untuk damai, karena bagi suku ini, kedamaian adalah ilusi. Manusia diciptakan untuk saling berebut, artinya saling berperang. Semua itu sebagai bentuk eksistensi diri, martabat diri. Dari Pashtun ini, lahirlah Kaum Taliban yang dikenal ekstrimis dan radikal. Makanya, Khan yang lahir di suku Pasthun ini adalah paradox, karena ia meneguhkan jalan hidup anti-kekerasan, ahimsa, persis dengan Gandi.

Menurut Eknath Easwaran dalam Nonviolent Soldier of Islam (2013), Khan adalah sosok yang menilai kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan yang sama. Tidak akan selesai suatu persoalan kalau masih dicarikan solusi dengan kekerasan. Yang lahir justru masalah baru, yang bisa jadi akan merusak diri. Anti-kekerasan menjadikan diri sebagai panglima yang kuat, mampu mengalahkan mereka yang bersenjata sekalipun. Makanya, Inggris kebingungan melawan Khan dan Gandi, karena keduanya menyeru kaumnya tanpa pegang senjata. Aksi gila ini justru membuat Inggris kehabisan akal, akhirnya Inggris pun pergi. Kelembutan akhirnya memenangkan pertempuran.

Sayangnya, pasca Inggris pergi, negara tercerai-berai karena kepentingan yang merejalela. Umat Hindu mendirikan India, sedangkan umat Islam pindah di wilayah sebrang untuk mendirikan Pakistan. Suku Pashtun berada di tengah keduanya, sehingga menjadi tempat terjadinya perang antar saudara. Khan terus berjuang tanpa henti, sampai nafasnya berhenti. Tragisnya, Khan justru dipenjarakan oleh pemimpin Pakistan, republic baru yang ikut ia dirikan dengan gagasan anti-kekerasannya. Sama dengan Khan, Gandi juga tewas dibunuh ekstrimis Hindu yang tidak sejalan dengan ajaran Ahimsa-nya.

Walaupun jalan hidupnya berakhir penuh kekerasan, tetapi perjuangan anti-kekerasan yang dilahirkan Khan dan Gandi menjadi referensi umat manusia abad ke-21 dalam menata peradaban. Ajaran anti-kekerasan justru semakin menemukan momentumnya, karena pergulatan jaman seringkali hanya menghadirkan kekerasan demi kekerasan. Manusia modern semakin merindukan falsalah anti kekerasan, karena melahirkan tatanan dunia yang damai dan penuh kasih sayang.

Bagi Khan sendiri, sikap anti kekerasan mempunyai sisi lain; sisi yang bersifat pribadi daripada politik, yang mengarah pada transformasi (perubahan). Bisa disebut anti-kekerasan transformatif. Sikap anti kekerasan digunakan untuk alat untuk membentuk ulang dan meremajakan kepribadian manusia.

Bagi Khan, sikap antikekerasan yang sejati muncul bukan dari kelemahan, melainkan dari kekuatan. Sikap ini menyangkut orang kuat yang dengan suka rela menahan diri untuk tidak menggunakan kekuatannya dalam suatu konflik. Memilih untuk menderita demi prinsip daripada membuat orang lain menderita meskipun mereka dapat melakukannya. Khan menyebut ini sebagai sikap antikekerasan orang-orang kuat sebagai lawan sikap antikekerasan orang-orang lemah.

Khan juga yakin bahwa dunia masa kini dan masa depan hanya bisa diselamatkan dengan ajaran anti-kekerasan. Hanya dengan anti-kekerasan dunia bisa bertahan dari produksi missal senjata nuklir. Sekarang ini, bagi Khan, dunia lebih membutuhkan pesan cinta kasih dan perdamaian, andai dunia sungguh-sungguh tidak ingin menyapu bersih peradaban dan kemanusiaannya sendiri di muka bumi.

Tegas sekali ajaran Khan untuk dipraktekkan umat beragama. Jalan kekerasan yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini bukti kegagalan bangsa ini dalam merefleksikan dirinya meniti jalan anti-kekerasan. Buat apa bangsa ini didirikan, kalau kekerasan justru digunakan untuk mengisinya. Khan sendiri merasa aneh melihat dunia ini, karena ia menyaksikan begitu banyak perusakan dan kekerasan. Sementara kekerasan selalu menciptakan kebencian dan ketakutan.

“Saya percaya pada perjuangan tanpa kekerasan dan saya katakan bahwa tak akan pernah ada perdamaian serta ketenangan di dunia ini sebelum prinsip non-kekerasan ini terwujud, karena non-kekerasan itulah cinta yang membangkitkan jiwa manusia.” Demikian tegas Khan yang dipesankan kepada manusia dalam menatap masa depan.

This post was last modified on 25 Mei 2016 3:50 PM

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

Share
Published by
Muhammadun

Recent Posts

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

6 jam ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

6 jam ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

6 jam ago

Selebrasi Kemerdekaan Sebagai Resiliensi Kultural di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…

1 hari ago

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasi déjà vu yang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan…

1 hari ago

Pesta Rakyat dan Perlawanan Terhadap Perpecahan

Pada tahun 2025, Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80. Pesta Rakyat yang digelar setiap tahunnya…

1 hari ago