Perubahan sosial niscaya selalu dilatari oleh kemunculan gerakan sosial. Kemerdekaan 1945 misalnya hanya mungkin terwujud karena gerakan revolusi yang berakar jauh sejak era kemunculan Boedi Oetomo, Kongres Pemuda dan gerakan sejenisnya. Gerakan Reformasi 1998 juga tidak mungkin lahir tanpa gerakan sosial kelas menengah terdidik yang sudah bergeliat jauh hari, utamanya di awal era 1990-an. Hari ini, setelah 75 tahun kita merdeka dan selama dua dekade lebih menikmati iklim Reformasi, terjadi semacam kekosongan gerakan berbasis masyarakat sipil. Ironisnya, kondisi itu dimanfaatkan oleh segelintir kelompok untuk menginfiltrasi ruang publik dengan narasi-narasi negatif.
Sejak sekira lima tahun belakangan ini, beragam gerakan sosial bertajuk aksi “menyelamatkan negara”, “bela ulama”, “bela agama” dan aksi sejenis muncul secara masif di ruang publik kita. dengan berbagai macam bendera yang berbeda, serta memanfaatkan momentum peristiwa yang berbeda pula, gerakan-gerakan itu muncul dengan satu agenda yang sama; yakni tendensi dan ambisi pada kekuasaan politik. Gelombang aksi massa bertajuk bela ulama dan bela Islam misalnya muncul dalam momentum kontestasi Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang diwarnai dengan politik identitas. Hari ini, gerakan sejenis muncul memanfaatkan situasi pandemi yang menyebabkan munculnya berbagai problem sosial di tengah masyarakat. Jargon menyelamatkan Indonesia tiba-tiba nyaring terdengar di ruang publik kita belakangan ini.
Pergeseran Narasi; Dari Dramatisasi ke Provokasi
Jika diamati, gerakan sosial bertajuk aksi bela dan aksi menyelamatkan itu sedikit-banyak telah mengalami transformasi. Di awal kemunculannya, aksi tersebut lebih menjual narasi dramatisasi, yakni strategi menempatkan diri mereka sebagai korban ketidakadilan pemerintah. Mereka menuding pemerintah selalu mendeskreditkan mereka dengan kebijakan-kebijakan yang tidak adil. Tujuannya agar masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah dan negara pun kehilangan kewibawaannya. Sekarang, narasi yang lebih dikedepankan gerakan tersebut ialah narasi provokasi, yakni menyulut sentimen publik dengan isu-isu sumir, bahkan hoaks yang sengaja dibuat untuk menimbulkan kekacauan publik. Narasi provokasi itu juga digencarkan untuk memecahbelah publik. Masyarakat yang kadung terpolarisasi akibat Pilpres 2019 pun mau tidak mau kian terjebak dalam pembilahan sosial yang lebih parah.
Meski berganti-ganti bendera, berganti momentum, berganti strategi, namun pada dasarnya gerakan-gerakan tersebut disatukan oleh benang merah, yakni kegemaran memanipulasi keadaan dan mengkomodifikasi psikologi massa untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Gerakan tersebut tidak diragukan merupakan aksi semu yang tidak memberikan kontribusi apa pun pada bangsa dan negara, alih-alih melahirkan sejumlah residu problem sosial baru. meminjam istilah Micheal Serres, gerakan aksi semu menyelamatkan Indonesia itu merupakan “parasit demokrasi”. Yakni sejenis organisme sosial yang menumpang hidup di ekosistem masyarakat demokrasi. Layaknya dalam ekosistem biologi, parasit selalu menjadi penyakit yang mengancam ketahanan hidup tanaman atau pohon.
Kehadiran parasit lebih banyak mengganggu ekosistem, bahkan mengancam kehidupan ekosistem tersebut. Serres mengklasifikasikan parasit demorkasi ke dalam dua macam. Pertama, facultative parasite, yakni parasite demokrasi yang mengadopsi gaya hidup dan sistem demokrasi namun tanpa merusak ekosistem sosial di dalamnya. Kedua, obligate parasite, yakni parasit demokrasi yang hidup dalam alam sistem demokrasi namun menggerogotinya dari dalam. Gerakan aksi menyelamatkan Indonesia dan gerakan sejenis yang marak selama satu dekade belakangan ini kiranya bisa dikategorikan sebagai obligate parasite. Mereka memanfaatkan kebebasan berpendapat untuk menggaungkan isu-isu sektarian, kebencian dan provokasi yang justru menjadi musuh demokrasi.
Menghalau Parasit Demokrasi
Adalah kewajiban bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk menghalau setiap gerakan dan aksi yang berpotensi menjadi parasit demokrasi. Benalu harus disingkirkan sejak keberadaannya masih kecil, agar tidak tumbuh dan merepotkan di hari depan. Masyarakat dan pemerintah perlu bekerjasama memperkuat upaya konsolidasi demokrasi guna memastikan ruang publik kita steril dari ujaran kebencian dan provokasi. Gerakan aksi menyelamatkan Indonesia yang penuh tipu muslihat dan kepalsuan itu sudah selayaknya kita lawan dengan narasi tandingan yang lebih mencerahkan kehidupan bangsa.
Pemerintah perlu mengoptimalkan semua lini mulai dari lembaga hukum, militer, pendidikan hingga agama untuk menangkal setiap gerakan yang menjurus sebagai parasit demokrasi. Di saat yang sama, masyarakat sipil mulai dari kalangan intelektual, media massa dan masyarakat umum harus bersatu-padu membangun kesadaran bersama akan bahaya parasit demokrasi. Di era Reformasi ini, gerakan sosial menyelamatkan Indonesia idealnya diejawantahkan dalam tindakan dan aksi nyata berbasis pada pembangunan sumber daya manusia dan optimalisasi potensi yang dimiliki masyarakat. Narasi dramatisasi apalagi provokasi sudah saatnya dibuang jauh-jauh. Inilah momen kita membangun bangsa Indonesia yang solid dan bebas dari parasit demokrasi.
This post was last modified on 9 Oktober 2020 2:11 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…