Budaya

Menyiapkan Generasi Cinta Damai

Menyadari kondisi obyektif bangsa Indonesia yang multikultural serta potensi dan pengalaman ledakan konflik masa lalu, menyiapkan generasi cinta damai sungguh tak terelakkan. Sudah cukup pengalaman masa lalu dan saat ini di mana kekerasan telah diabsahkan menjadi suatu budaya. Kekerasan yang membudaya semakin Nampak ketika masyarakat menganggap kekerasan sebagai instrument sah atau sebagai kewajaran.

Generasi saat ini harus segera melakukan introspeksi terhadap berbagai kegagalan masa lalu dalam mengelola konflik dan kekerasan. Generasi tua pun harus memberikan teladan yang baik dalam beragama, berbangsa dan berengara terhadap generasi emas penerus bangsa. Perlu segera memutus rantai kekerasan, konflik, dan kebencian warisan masa lalu agar tidak menular pada generasi masa depan.

Saya kira langkah pertama dan penting dilakukan adalah tidak mewariskan beban konflik, dendam, permusuhan, dan kebencian masa lalu. Jangan mendorong generasi emas kita ke jurang konflik, permusuhan, pertengkaran dan kerusakan baru di masa mendatang. Karena itulah, rekonsiliasi nasional atas beragam konflik, kekerasan dan dendam masa lalu harus dilakukan. Rekonsiliasi memang tidak akan merubah kekacauan masa lalu, tetapi rekonsiliasi dapat melapangkan jalan damai di masa depan. Rekonsiliasi mampu memutus beban masa lalu dan menyiapkan generasi penerus dengan semangat optimisme damai.

Langkah kedua adalah pendidikan karakter terhadap anak. Agama apapun sejatinya berpusat pada perbaikan karakter atau akhlak. Islam merupakan agama yang berpusat pada perbaikan dan penyempurnaan akhlak baik akhlak terhadap Tuhan, manusia maupun seluruh semesta. Secara tegas disabdakan bahwa misi kerosulan Nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan Akhlak. Dalam hadist lain dikatakan bahwa akhlak yang baik adalah kunci kesempurnaan iman: Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna budi pekertinya. (HR. Tirmidzi)

Dengan demikian, karakter atau akhlak yang baik dan terpuji (akhlakul karimah) yang ditanamkan sejak dini terhadap anak merupakan pondasi yang baik bagi terbentuknya generasi masa depan yang cerah. Akhlak tidak sekedar aturan berperilaku yang nampak tetapi juga kesadaran nilai-nilai yang mulia yang berpusat pada jiwa dan hati manusia. Berakhlak yang baik tidak hanya berperilaku baik, tetapi juga mempunyai pola berpikir yang baik. Individu yang memiliki akhlak sempurna tidak mungkin menimbulkan kekerasan atau memendam dendam dan kebencian. Pendidikan karakter dengan akhlak mulia adalah bekal generasi emas bangsa ini untuk mengelola Indonesia yang damai.

Langkah ketiga menanamkan perspektif damai sejak dini terhadap anak. Generasi cinta damai merupakan generasi yang mempunyai perspektif damai dalam melihat keragaman agama, suku, etnis, dan bahasa dalam bingkai negara kesatuan. Ia tidak melihat keragaman sebagai kendala dan hambatan tetapi sebagai potensi dan kesempatan dalam merangkai kebersamaan. Perspektif damai merupakan cara pandang untuk mengelola perbedaan dengan cara santun, sopan dan bermartabat, bukan dengan perselisihan apalagi kekerasan.

Sebagai refleksi bersama, teladan kemenangan Nabi di masa lalu, bukan pada kemenangan di medan perang, tetapi kemenangan beliau dalam mendidik masyarakat yang penuh fanatisme kesukuan yang heteregon dalam suasana damai. Kesuksesan terbesar Nabi bukan karena mengalahkan orang kafir, tetapi keberhasilan beliau dalam mengalahkan perspektif kafir yang sekterian dengan perspektif Islam yang damai dan rukun di tengah masyarakat jazirah Arab.

Dalam konteks itulah, tidak relevan bahkan keliru untuk menjadikan Islam sebagai motivasi meningkatkan heroisme peperangan dan pertempuran pada anak. Islam adalah motivasi membangun peradaban yang damai, toleran, adil, dan makmur sebagaimana dicontohkan Nabi dalam membangun masyarakat Madinah.

Perspektif damai penting ditanamkan sejak dini seiring dengan adanya penyimpangan pemahaman dan penyalahgunaan ajaran agama untuk membenarkan kekerasan. Banyak sekali term-term keagamaan yang dibajak sebagai pembenaran kekerasan dan penanaman kebencian yang sangat tidak sesuai dengan keluhuran Islam dan akhlak muslim sebagai rahmat bagi semesta.  Sebagian kelompok bahkan telah menyuntikkan pemahaman yang salah tersebut sebagai doktrin permusuhan, kebencian dan kekerasan sejak masa anak-anak.

Jangan menggali jurang kehancuran generasi mendatang dengan cara memupuk dendam, permusuhan dan pertengkaran pada pola pikir mereka. Marilah mencetak generasi cinta damai dengan mendidik anak sejak dini dengan perspektif damai. Pendidikan anak usia dini merupakan investasi panjang bangsa ini untuk menyiapkan kader penerus bangsa yang sadar damai dan memiliki kemampuan untuk mengelola keragaman dalam perdamaian, bukan dalam permusuhan dan kebencian.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Share
Published by
Abdul Malik

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

12 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

12 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

12 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago