Kebangsaan

Menghayati Bangsa

”Hanya Bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, Akan dapat berdiri dengan tegaknya”

“Bangunlah suatu dunia dimana semuanya bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan.”

Soekarno

 Tepat pada 28 Oktober 1928, ikrar Pemuda digaungkan. Berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu; Indonesia. Dilihat dari sisi historis-sosiologis, gerakan kebangsaan sudah tercetus sejak perjuangan yang dipelopori oleh Bung Tomo pada 1908, di mana spirit nasionalisme Indonesia dijadikan dasar. Sejak itulah pola dan konsep  perjuangan dalam mengusir penjajahan mengalami perubahan, dari yang semula perjuangan bersifat primordial, lokal dan teritotorial, erubah menjadi gerakan kebangsaan.

Gerakan kebangsaan dicetuskan oleh tokoh-tohoh muda yang progresif revolusioner serta memiiki cita-cita yang sama dalam memerdekaan bangsa. Yakni bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat untuk melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Di antara pemuda-pemuda itu ada nama Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, dll. Semua tokoh itu memiliki pemikiran, harapan, cita-cita besar dan pengorbanan diri demi tercapainya kemerdekaan Indonesia, hingga akhirnya diproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,

70 tahun sudah negara ini berdiri sejak 1945 dan 87 tahun konsepsi kebangsaan dicetuskan sejak 1928. Muncul sebuah kalimat bijak yang layak untuk direnungi, “Hidup yang tidak dihayati tidak patut dijalankan.” Sebuah penggalan kalimat yang penuh makna, tafsir dan pembedahan yang dalam. Dihayati menjadi kata kunci. Secara bahasa kata dihayati berasal dari kata “hayat”, “penghayatan”, menghayati mengandung arti pendalaman, refleksi dan perenungan.

Dalam konteks kebangsaan, sudah semestinya kalimat bijak di atas dijadikan titik awal untuk mulai mengahayati konsepsi kebangsaan (nation state) di tengah derasnya arus gelombang moderenisasi dan arus pemikiran baru yang mencoba menggerus falsafah, ideologi dan paham kebangsaan kita. Sebut saja komunisme, konservatif, liberalisme, kapitalisme fundamentalisme, fanatisme dan yang terkini adalah radikalisme. Pandangan dan paham ini terus mencoba menggerogoti kebangsaan hari demi hari,

Untuk memahami makna bangsa, perlu kiranya kita mencermati arti bangsa secara definisi yang mengartikannya sebagai rakyat yang hidup dan memiliki wilayah dengan corak kebudayaan dan karakteristik tertentu dan unik. Dengan kekhasan dan keunikan kita sebagai bangsa jelas memiliki ekspresi yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang ada di dunia, kemudian apa yang mengikat kita sebagai sebuah bangsa? Tentu adalah perasaan sebangsa, sebahasa, setanah air. Termasuk persamaan nasib, persamaan ini jelas tidak menafikan perbedaan atau menghilangkan ranah perbedaan dalam ikatan kebangsaan kita, kebhinekaan di dalam persamaan atau sebaliknya, persamaan di dalam kebhinekaan inilah yang terbukti mampu menyatukan kita dibawah panji Bhineka Tunggal Ika.

Berkah dan hadiah kebangsaan yang kita miliki saat ini tentu penting untuk selalu dihayati. Bak kalimat bijak di atas, jika tidak dihayati tidak patut dijalankan. Hidup di atas tanah ini, menghirup udaranya, meminum airnya, serta terlahir dan besar di Indonesia merupakan hadiah terindah bagi kita, di mana di balik hadiah itu tersimpan kewajiban kuat bagi kita untuk menjaga negeri ini. Mengahayati Indonesia berarti mengerti dan memahami eksistensi, esensi dan sejarah kebangsaan, serta memahami tujuan dan cita-citanya. Paham dengan nilai-nilai yang dianut, baik kebudayaan, social, maupun ekonomi. Hal ini telah ditekankan sejak lama oleh pendiri bangsa melalui ungkapan terkenal, Jasmerah: Jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Minimnya pengetahuan anak bangsa tentang kebangsaan akan membawa kehancuran pada bangsa ini. Kepedulian terhadap bangsa lahir karena pengetahuan yang dimiliki terhadap bangsa itu sendiri. Pengetahuan semacam ini hanya bisa didapat dengan cara memotret bangsa Indonesia apa adanya, bukan memotret bangsa dengan tafsir-tafsir atau interpretasi tertentu. Memotret bangsa dengan apa adanya akan melahirkan gagasan kebangsaan yang original, gagasan yang konstruktif dan progresif untuk tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti  yang sering dikatakan oleh para founding father “Indonesia akan menjadi mercusuar dunia,” atau seperti yang dicita-citakan oleh Tan Malaka, yakni untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai Laboratorium dunia.

Haidar Malaka

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

23 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

23 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

23 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago