Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’ dan nasionalisme, terutama menjelang Reuni 212. Isu ini, yang semakin santer di media sosial, turut mengangkat perdebatan soal simbol-simbol negara, salah satunya desakan untuk mengganti bendera merah putih dengan “bendera Islam”. Narasi ini semakin memperuncing dikotomi antara menjadi Muslim yang taat atau warga negara yang setia. Masyarakat seolah dipaksa untuk memilih di antara keduanya, seakan kedua hal ini tidak bisa berjalan seiring.
Namun, di balik perdebatan tersebut, kenyataan yang lebih penting harus dihadapi oleh bangsa ini. Saat ini, saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sedang berjuang melawan bencana alam yang mengancam kehidupan mereka. Bencana alam yang menghancurkan ruang hidup mereka tidak hanya menuntut perhatian, tetapi juga harus menjadi pengingat bagi kita untuk fokus pada kerja-kerja kemanusiaan yang lebih nyata dan mendesak.
Ironisnya, meskipun bencana alam melanda, sebagian pihak masih menggulirkan isu yang mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah yang lebih mendesak. Di sinilah moderasi beragama sebagai paradigma beragama dan bernegara menjadi sangat penting untuk dijadikan rujukan. Moderasi beragama mengajak umat beragama untuk menjaga keseimbangan antara agama dan negara, menghindari ekstrimisme baik dalam beragama maupun dalam berpolitik. Moderasi beragama bukan hanya untuk meredam polarisasi sosial, tetapi juga untuk menghadapi dua krisis besar yang tengah melanda dunia yakni krisis ekologi dan krisis ideologi.
Berbicara tentang Reuni 212, sejumlah tokoh masyarakat dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah turut memberikan pernyataan penting terkait acara ini. Mereka menegaskan bahwa Reuni 212 harus tetap berlangsung damai dan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memecah belah persatuan bangsa. KH Robikin Emhas, salah satu tokoh NU, menegaskan bahwa jika pesan yang disuarakan dalam Reuni 212 mengarah pada politisasi agama dan perpecahan sosial, maka NU sebagai organisasi tidak akan terlibat. “Jangan dicederai dengan politisasi agama, jangan juga mau diadu domba, dipecah belah,” ujar Robikin. Seruan ini penting sebagai pengingat bahwa agama tidak boleh dijadikan alat untuk kepentingan politik yang merusak keharmonisan sosial.
Abdul Mu’ti, tokoh Muhammadiyah, juga mengingatkan bahwa misi seperti “bela Islam” yang sering kali dikaitkan dengan kelompok 212 tidak lagi relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia saat ini. Menurutnya, nuansa politik yang mendominasi dalam acara tersebut lebih banyak menyisakan perpecahan ketimbang tujuan keagamaan yang sejati. Ini menunjukkan bahwa moderasi beragama, yang mengedepankan keseimbangan, harus menjadi pilihan utama agar kita tidak terjebak dalam fanatisme yang justru merugikan umat.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang mengingatkan semua pihak untuk tidak merespons isu Reuni 212 secara berlebihan. Ia menekankan pentingnya etika dalam menyampaikan pendapat, tanpa mencela, menghina, atau mengejek pihak lain. Hal ini menegaskan bahwa Reuni 212 harus tetap berada dalam koridor yang damai, menjunjung persatuan umat, serta menolak segala bentuk provokasi dan perpecahan.
Melihat dinamika ini, moderasi beragama hadir sebagai solusi untuk meredam polarisasi yang semakin menguat. Moderasi beragama mengajarkan kita untuk memisahkan antara agama dan politik, menghindari fanatisme, dan lebih mengutamakan nilai-nilai universal yang dapat membawa kebaikan bagi umat manusia. Moderasi beragama adalah antitesis dari kerakusan dan fanatisme yang sering kali memecah belah umat. Ia adalah konsep yang menyeimbangkan antara kesalehan individu dengan kepedulian sosial, antara keyakinan agama dengan tanggung jawab terhadap negara dan bangsa.
Melalui moderasi beragama, kita dapat mengalihkan fokus umat dari simbol-simbol politik yang bersifat divisif menuju substansi kesalehan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Kesalehan yang dimaksud bukan hanya sebatas ritual keagamaan, tetapi juga kesalehan sosial yang berwujud dalam tindakan nyata yang mendatangkan kebaikan bagi sesama. Inilah yang harus kita tegakkan sebagai bangsa, dengan menjadikan moderasi beragama sebagai landasan dalam beragama dan bernegara.
Dengan demikian, menjelang Reuni 212 hari ini, kita dihadapkan pada pilihan besar: apakah kita akan terus terjebak dalam konflik simbol politik ataukah kita akan melangkah menuju jalan moderasi yang lebih bijaksana? Saatnya umat Islam dan seluruh masyarakat Indonesia untuk berfokus pada upaya membangun Indonesia yang lebih baik, dengan moderasi sebagai paradigma dalam beragama dan bernegara.
Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak…
Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga…
Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…
Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…
Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…
Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…