Narasi

Menyoal Ilusi Kebangkitan Khilafah

Sistem kekhalifahan di masa lalu itu tidak perlu kita agung-agungkan. Dia hanyalah sistem bernegara hasil pikiran/ijtihad di masa itu yang bisa kita kritisi.

Seperti yang disampaikan oleh Faraq Fouda dalam Kebenaran yang Hilang. Mengkritik sistem kekhalifahan bukan berarti anti Islam, apalagi dituduh membenci Nabi dan para Sahabatnya. Tetapi mengkritik sebuah realitas bernegara di masa lalu demi membangun sistem bernegara yang jauh lebih baik di era kita hari ini.

Faraq Fouda selalu menyampaikan. Bahwa realitas kekhalifahan di masa lalu cenderung otoriter. Rentan konflik dan kerap menggunakan legitimasi agama untuk memerangi. Jadi, fakta sejarah semacam ini harus kita sadari dan jangan tertipu dengan janji krbangkitan khilafah yang penuh dengan ilusi itu.

Cobalah pahami, jika alasan kebangkitan khilafah demi menuju tatanan dunia yang mapan. Dalam bentang sejarah al-khalafa ar-rasyidin misalnya. Sensitifitas politik kekuasaan berbasis primordialisme kerap menjadi benalu antar kelompok saling membunuh.

Di era kehalifahan Sayyidina Ali misalnya. Ayat-ayat suci kerap dijadikan pembenar bukan kebenaran. Banyak di kalangan muslim para pengikut Sayyidina Ali yang dituduh kafir, sesat dan musyrik karena memiliki jalur Arbitrase. Kelompok ini-pun banyak yang hafal Al-Qur’an dan paham ilmu agama yang kita kenal saat ini adalah kelompok khawarij.

Artinya apa? Kritikan-kritikan semacam ini harus menjadi satu paradigma penting bagi kita. Untuk menegaskan, bahwa menolak kebangkitan khilafah bukan berarti menolak agama atau hukum suci. Karena sistem kekhalifahan saat ini bukan menuju kemapanan tatanan dunia, melainkan akan cenderung destruktif atas tatanan yang hanya ingin sebuah kekuasaan.

Menolak khilafah berarti Ini adalah satu paradigma dalam menolak (ide primordialisme). Ide sebuah negara yang menganut basis satu agama akan menjadi nilai srntiment. Dia akan menjadi benalu perpecahan dan pertumpahan darah. Baik antar umat Islam dengan non-muslim atau-pun antar sesama umat Islam.

Menolak Kebangkitan Khilafah Bukan Menolak Hukum Islam

Menolak kebangkitan khikafah bukan berarti anti-hukum Islam. Meskipun membawa alasan, sebuah negara di era kekhalifahan di dalam Islam. Para Sahabat Nabi jelas tidak dalam situasi yang sama dengan kita saat ini. Kekhalifahan di masa lalu penuh dengan sensitivitas (primordialisme) yang membuat manusia semakin terkotak-kotak ke dalam kelompoknya masing-masing.

Kecamuk konflik peperangan/pertumpahan darah di masa lalu tidak melulu antar umat Islam dengan non-muslim. Bahkan, konflik dan pertumpahan darah itu juga terjadi di kalangan sesama kelompok Islam. Realitas semacam ini, karena sebagai bentuk dari problem politik “primordialisme” yang mengikat. Lalu, saat ini justru cenderung disucikan.

Komitmen Menjaga NKRI di tengah Prinsip Perbedaaan Syariat yang Telah Menjadi Ketetapan

Cobalah paham (Qs. Al-Ma’idah:48) “Dan kami menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa kebenaran), (yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya) dan menjaganya, (maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah) dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jangan yang terang). (Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu jadikan-Nya satu umat saja). Tetapi (Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu), (maka berlomba-lomba-lah berbuat kebajikan). Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan”.

Saya begitu tertarik dengan teks ayat di atas dalam kata (maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah). Kalau kita pahami, ada bentuk larangan menggunakan legitimasi syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk (memutus suatu perkara). Dalam basis pengertian, kita dilarang menjustifikasi umat agama lain sesat, kafir atau dianggap musuh karena tidak sesuai syariat Islam.

Kata perintah memutus perkara/hukum yang diturunkan Allah ini bersifat (persamaan nilai) yang sama antara syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan syariat-syariat yang telah diturunkan kepada Nabi-Nabi lainnya. Dalam tradisi Islam, Kristen dan Yahudi. Ketiganya memiliki nilai yang sama tentang larangan membunuh, merusak tatanan dan memecah-belah.                        

Jadi, perspektif agama-agama sebetulnya harus menjadi satu kecaman penting terhadap segala kezhaliman dan perilaku yang melanggar kemanusiaan serta merusak tatanan. Ketika kesadaran teologis atau syariat yang berbeda, tetapi memiliki semangat yang sama. Yaitu hidup di atas aturan syariat yang berbeda tapi tidak saling mengganggu.

This post was last modified on 10 Januari 2024 2:08 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

21 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago