Narasi

Menyucikan Tangan dan Lisan: Jihad Merawat Keberagamaan

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Bulan yang selalu dirindu kehadirannya dan ditakuti kepergiannya. Bulan Ramadhan istimewa bukan karena selalu ada kolak di setiap maghrib tiba, tetapi karena bulan ini maqamnya berbeda dari bulan-bulan lainnya. Di bulan Ramadhan segala do’a yang dipanjatkan lebih mudah dikabulkan dan pahala ibadah dilipat gandakan.

Dalam beberapa riwayat hadist Nabi Muhammad saw. menyampaikan firman Tuhan tentang penggandaan pahala ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan ini. Misalnya hadist Nabi saw. yang berbunyi: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah swt. berfirman: kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya…” (HR. Bukhari).

Selain itu, bulan Ramadhan merupakan bulan suci yang menuntut kita untuk senantiasa menyucikan diri dengan meninggalkan segala perkara negatif, seperti berkata bohong atau hoax, berlaku dan berpikir buruk, dan perkara negatif lainnya. Secara normatif, semua perkara tersebut dilarang karena akan menghilangkan pahala puasa, dan secara historis akan menciptakan perpecahan di masyarakat, yang puncaknya akan menodai kesucian bulan Ramadhan.  

Oleh karena itu, dengan berpuasa kita ditempa untuk sungguh-sungguh mematuhi perintah Tuhan, dilatih untuk sabar, diajarkan untuk berkorban, berjihad di jalan yang benar, dan ikhlas menghadapi cobaan. Semua itu merupakan bentuk praksis dari kontekstualisasi puasa yang benar. Ada hikmah di balik kelemahan dan keterbatasan diri untuk senantiasa peka dan peduli terhadap kondisi sosial.     

Merawat Keberagamaan

Di era digital sekarang ini, seharusnya pemaknaan puasa tidak lagi dibatasi secara konvensional. Puasa harus dimaknai secara progresif dan menjadi solusi bagi persoalan keummatan. Di samping menahan haus dan lapar, ibadah puasa seharusnya jadi momentum untuk mencegah segala aktivitas yang memancing keterbelahan. Puasa harus jadi momentum untuk mengoreksi segala pesan-pesan yang terucap maupun yang tertulis agar tidak menciptakan konflik di masyarakat.

Sebagaimana dipahami, dengan platform digital segala statement dan informasi tertulis sangat mudah diakses oleh masyarakat. Apa yang dibaca dan didengar masyarakat akan mempengaruhi cara pandang mereka, tidak terkecuali dalam hal beragama. Sudah seringkali terjadi konflik disebabkan sumber refrensi yang mereka baca dan dengar tidak benar, mengandung hoax, penuh hasut, dan lain sebagainya. Konflik Suriah, misalnya, terjadi karena maraknya hoax yang memecah belah dan menyulut perang saudara di antara mereka.

Dalam publikasi dokumen Persaudaraan Kemanusiaan/nation union 2019, ada lima persoalan yang jamak terjadi di masyarakat dan menjadi problem keberagamaan, yaitu munculnya ekstrimisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia. Semua problem di atas muncul dengan mengatasnamakan agama, dan telah menciptakan keterbelahan masyarakat.

Munculnya kasus ekstrimisme, salah satunya, disebabkan masyarakat tidak bisa menyaring informasi digital dengan baik dan gampang percaya pada potongan-potongan video ceramah yang cenderung provokatif. Kasus seperti ini dampaknya sangat serius, karena dalam kondisi yang kritis bisa menyeret seseorang bisa melakukan aksi teror, sebagaimana kasus terorisme akhir Maret kemarin.   

Dalam kondisi seperti ini, esktrimisme, intoleransi, dan sejenisnya, mengikis kesakralan agama, khususnya Islam, yang mana tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal. Agama yang berarti spritualitas seharusnya melahirkan moralitas dan rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam. Melindungi minoritas dari eksklusifisme beragama kelompok yang mengaku mayoritas. 

Oleh karena itu, munculnya ekstrimisme hanya menjadi toxic di dalam tubuh agama yang mengaburkan pesan persatuan dan kasih sayang antar sesama. Ekstrimisme mengubah wajah agama yang santun dan melindungi menjadi bar-bar dan memecah belah. Puncaknya, agama pula yang kemudian dijadikan alasan seseorang untuk melepas status keberagamannya. 

Dengan demikian, jihad untuk merawat keberagamaan penting dilakukan, khususnya di bulan yang suci ini. Puasa yang artinya menahan bisa menjadi momentum bagi kita untuk lebih hati-hati dalam menyampaikan pesan, baik yang berbentuk lisan maupun tulisan. Puasa mengajarkan kita untuk senantiasa menyaring informasi yang benar agar tidak terjadi fitnah, dan menahan diri dari segala perbuatan yang memecah belah. Di bulan yang suci ini, tangan dan lisan juga harus suci sehingga senantiasan menjaga kesucian agama. Wallahua’lam..

This post was last modified on 5 Mei 2021 3:35 PM

Mas’odi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

19 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

19 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

19 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

19 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago