Kritik itu vitamin, provokasi itu racun. Ibarat ini sangat pas ketika kita membicarakan demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang diisi dengan kritik konstruktif-positif. Sebaliknya, demokrasi akan hancur jika dihantam dengan provokasi dan narasi destruktif-negatif.
Jika ada kebijakan dan peraturan yang menyalahi konstitusi dan semangat kebangsaan, maka sangat dianjurkan untuk melancarkan kritik, memberikan masukan konstruktif, dan menyampaikan aspirasi yang membangun. Itulah gambaran demokrasi ideal.
Yang terjadi akhir-akhir ini pada alam demokrasi kita –terutama di media sosial –malah sebaliknya. Yang muncul bukan kritik yang beradab, malah caci-maki, provokasi, ujaran kebencian, bahkan tidak jarang fitrnah. Ini tentunya sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila yang penuh adab dan kemanusiaan. Yudi Latif mendefinisikan demokrasi Pancasila itu sebagai demokrasi yang berjalan atas dua prinsip utama. Pertama, prinsip persatuan di sebelah kanan. Kedua, prinsip keadilan sosial di sebelah kiri.
Artinya, jangan sampai demi mewujudkan persatuan, kita mengorbankan keadilan sosial untuk rakyat. Sebaliknya, jangan sampai demi mengejar keadilan sosial, kita justru membuang persatuan. Kedua prinsip itu bisa terwujud, dasarnya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.
Adil dan Beradab
Adil dan beradab artinya bukan tidak membuka ruang untuk saling mengingatkan dan saling mengoreksi. Jika pemerintah abai terhadap amanah kepercayaan yang diberikan, warga boleh protes, melakukan aksi demonstrasi, tetapi dengan catatan tetap dalam koridor persatuan.
Pemerintah juga bisa memberikan sanksi jika dalam perjalanannya, ada warga yang kebablasan, bersikap anarkis, dan besikap anti terhadap pemerintah. Tentu sanksi yang diberikan tetap dalam koridor keadilan.
Aksi saling mengingatkan dan saling koreksi sangat bagus dalam iklim demokrasi. Akan tetapi, akhir-akhir ini, justru ini yang hilang dari kita. Kritik dianggap hinaan; hinaan diklaim sebagai kritik.
Tidak sedikit tindakan, atas nama kebebasan berpendapat yang keluar justru adalah caci-maki, ujaran kebencian, dan provokasi. Masih ada anggapan, merusak fasilitas umum, membakar tempat kerja warga yang tak tahu pangkal-ujung masalah dianggap sebagai tindakan heroik.
Pemerintah pun demikian, tidak transfaran dalam mengeluarkan peraturan; jika ada suara yang kritis dianggap sebagai duri dalam daging. Ketika warga bergerak dicap sebagai gerakan yang didasarkan pada hoax. Tuduhan-tuduhan ini tentang membuat jalan demokrasi kita tertatih-tatih.
Kedua belah pihak yang bersikap dewasa. Jika ada “masalah” kita kembalik keapada hikmah-kebijaksanaan. Hilangkan sikap menuduh, mengklaim, dan tindakan anarkis,
Dalam alam demokrasi, riak-riak kecil itu pastia ada. Mari kita jadikan itu sebagai penghangat dalam hubungan antara negara dan warga negara. Pemerintah dan rakyat harus saling percaya. Kita jaga budaya kesalingpercayaan kita.
Saling Percaya
Dalam kamus demokrasi Indonesia tidak dikenal tindakan esktrem dan anarkis. Artinya, baik negara maupun warga negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang justru memperlebar jarak. Ujaran kebencian, provokasi, hoax, dan tindakn anarkis lainnya memperlebar jarak persatuan di antara kita.
Layaknya dua belah pihak dalam kontrak. Pemerintah dan warga yang diperintah harus beriktikad baik. Iktikad baik itu terwujud, jika pemerintah melaksanakan kontrak sosialnya dengan menjalankan amanah kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.
Hanya dengan sikap inilah tumbuh kepercayaan. Kesalingpercayaan itu bisa tumbuh dan kokoh jika semua negara dan warga negara, pemerintah juga rakyat yang diperintah, mengindahkan kedua syarat di atas.
Inilah keunikan Demokrasi Pancasila yang bisa mempertemukan antara kepentingan (baca: kepercayaan) rakyat dengan kepentingan pemerintah. Rakyat harus menaruh rasa percaya kepada pemerintah; sebaliknya pemerintah juga harus menjaga dan menjalankan amanat rakyat itu.
Keseimbangan yang diberikan oleh Demokrasi Pancasila adalah modal yang luar biasa bagi Indonesia. Sebab, banyak kasus di berbagai negara lain yang sedang berkecamuk dengan berbagai konflik horizontal, tidak memiliki kedua syarat di atas. Akibatnya, negara bersifat otoriter, tidak bisa menjaga kepercayaan rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, warga negara menuntut dan memprotes negara untuk menjalankan tugasnya mewujudkan kesejahteraan, tetapi menabarak nilai-nilai persatuan.
This post was last modified on 14 Juni 2021 12:29 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…