Narasi

Merawat Demokrasi, Memberantas Premanisme Digital

Belakangan ini, kita mendapatkan berita bahwa polisi sedang sibuk memberantas premanisme di berbagai kota di Indonesia. Pemberantasan ini dilakukan sesuai dengan instruksi presiden. Harus diakui, premanisme sangat meresahkan bagi masyarakat. Premanisme merusak keamanan, kenyamanan, dan kedamaian kehidupan warga.

Akan tetapi, kita seakan lupa bahwa ada satu lagi bentuk premanisme yang tidak kalah berbahayanya –bahkan dalam satu segi dia lebih berbahaya –dari premanisme biasa. Premanisme yang dimaksud adalah premanisme digital.

Premanisme digital adalah sebentuk pemaksaan kehendak, membully yang berseberangan dengan diri/kelompoknya, memprovokasi agar orang lain mengikuti kehendaknya, yang itu semua dilakukan di media sosial, twitter, facebook, instagram, youtube, dan perangkat lainnya.

Para preman digital ini sering melakukan aksi-aksi provokasi, fitnah, membuat narasi destruktif-negatif kepada pihak yang mereka anggap  sebagai lawan atau musuh. Perundungan, meneror, bahkan membuka aib-aib musuh adalah aksi-aksi yang biasa mereka lakukan.

Penelitian menunjukkan setidaknya ada tiga bentuk premanisme yang biasa dilakukan. Pertama, buzzer. Buzzer adalah para pendengun yang semula bermakna netral, tetapi belakangan memiliki makna negatif sebab sering bertindak sesuai pesanan.

Kedua, infuluencer. Jika para buzzer itu adalah akun-akun yang tak jelas identitas orangnya, maka infeluencer adalah orang-orang yang jelas identitasnya. Mereka adalah para public figure yang banyak pengikutnya. Tidak jarang, para infeluencer ini juga bisa bertindak layaknya para preman.

Ketiga, akun robot. Akun robot adalah akun-akun yang tak jelas orang dan identitasnya. Akun anonim ini sengaja diciptakan untuk mendukuang atau menolak suatu kebijakan, peraturan, atau pihak tertentu.

Merusak Demokrasi

Premenisme digital dengan tiga bentuk di atas tentu sangat merusak kualitas demokrasi kita. Di tangan preman digital tidak ada kritik yang membangun, tidak ada masukan yang disampaikan secara konstruktif, yang ada adalah provokasi, fitnah, narasi, bully, dan sebentuk ujaran kebenciannya lainnya.

Harus dicatat, yang melakukan tindakan premanisme digital bukan hanya pihak oposisi, tetapi juga pihak koalisi/pemerintah juga sering melakukan aksi-aksi premenisme digital. Kita masih ingat, ketika terjadi demostrasi besar-besaran terkait dengan RUU KUHP atau UU KPK yang baru, banyak akun yang tak jelas justru melakukan aksi sebaliknya, mendukung, memaksa orang lain, bahkan mengata-ngatai orang yang menolak undang-undang tersebut sebagai kadrun dan sederat ujaran kebencian lainnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh oposisi. Jika ada kebijakan yang dinilai bisa digoreng, didramatisir, diframing, maka akun-akun yang tak jelas dan anonim itu berkeluaran. Kebijakan pembatalan keberangkatan haji 2021 misalnya, digoreng, diframing, dan dipelintir sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang benci terhadap pemerintah.

Koalisi dan oposisi sama-sama memiliki akun buzzernya masing-masing. Tentu dalam alam demokrasi ini harus dihentikan. Sebab ia sangat merusak jalan demokrasi kita ke depannya. Adanya buzzer, kita tidak bisa membedakan mana fakta mana opini, mana berita yang benar, mana berita yang hoax, semuanya bercampur-aduk dan sengaja dicampur-adukkan oleh akun-akun yang tak jelas.  

Beri Kritik Konstruktif

Merawat demokrasi itu bukan dengan bentuk premanisme, akan tetapi dengan kritik konstruktif, kritik yang membangun yang di dalamnya ada kemaslahatan bersama. Kritik lahir dari hati yang bersih demi kemaslahatan bersama. Beda dengan hinaan yang lahir dari hati yang kotar demi kepentingan kelompok.

Kritik merupakan bagian yang sangat penting dalam demokrasi. Dengan kritik, kebijakan dan arah pembangunan bisa diluruskan agar sesuai dengan koridornya.   Selain sebagai sarana untuk menguji seberapa jauh kebijakan sesuai dengan falsafah bangsa, kritik juga bisa dijadikan sebagai wahana untuk meyakinkan publik bahwa menjalankan negara ini harus dilakukan secara bersama-sama.

 Ketepatan argumen, ketangkasan, ketelitian, keakuratan data, konsistensi dalil, dan rasionalitas jawaban, semua diperlukan ketika melakukan kritik, sebab jika sebaliknya, itu hanya omong kosong atau bisa justru terjerumus kepada –yang dalam istilah sekarang disebut dengan “nyinyir.”

Kritik adalah sesuatu mulia dalam alam demokrasi. Sudah seharusnya tidak dikotori oleh tindakan yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang dianut oleh bangsa ini. Dalam konteks ini, etika dalam mengkritik perlunya menjadi pegangan bersama oleh siapa pun itu.  Dengan adanya etika, akan melahirkan kritik yang berkualitas yang bisa diterima oleh semua pihak.

This post was last modified on 16 Juni 2021 12:00 PM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

11 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

11 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

11 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

11 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

1 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

1 hari ago