Narasi

Merawat “Kesucian” Idul Fitri, Merawat Persatuan Bangsa

Hari-hari ini kita sudah memasuki minggu terakhir bulan Ramadhan. Itu artinya, kita akan segera menginjak bulan baru, yakni Syawal. Beriringan dengan hal tersebut, kita (umat Islam) pun merayakan Hari Raya Idul Fitri yang acapkali dianggap sebagai puncak dari indeks kesalehan religiusitas peribadatan selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan. Hal demikian memang sangat logis, sebab selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan kita diwajibkan untuk berpuasa sesuai firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 185. Yang artinya, “Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa”. Di dalam puasa, sangat disadari terkandung nilai-nilai yang sangat menekankan bagi setiap muslim untuk menahan segala bentuk hawa nafsu yang dimilikinya.

Kecuali puasa, di dalam bulan Ramadhan tersirat pula pesan agar setiap muslim lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Diriwayatkan dari HR. Bukhari dan Muslim, Ibnu Abbas berkata, “adalah Rasulullah pada tiap-tiap malam bulan Ramadhan dijumpai oleh malaikat Jibril mengajarkan ayat-ayat al Quran kepadanya. Sesungguhnya Rasulullah ketika ditemui oleh Jibril maka ia mengerjakan kebaikan lebih cepat dari angin yang berhembus”. Titik kulminasi dari segala amal ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan itulah yang pada gilirannya mengantarkan kita kembali fitrah (suci). Sehingga dalam konteks itu, pemaknaan hari raya Idul Fitri menjadi sangat erat kaitannya dengan tujuan akhir yang hendak dicapai setelah melaksanakan kewajiban maupun sunah ibadah selama di bulan Ramadhan. Itulah sebabnya, selain hari raya Idul Fitri dapat diartikan sebagai Hari Kemenangan bagi umat Islam, dapat pula diartikan sebagai hari raya Kesucian karena “pertaubatan” didalamnya selama Ramadhan.

Nahasnya, “kesucian” yang telah digapai tersebut acapkali luntur dengan mudahnya seiring berlalunya bulan Ramadhan dan bermulanya Syawal (baca: Idul Fitri). Dengan kata lain, Idul Fitri bak pisau bermata ganda bagi umat Islam. Apabila mampu merawat “kesucian” yang digapai dengan susah payah setelah menjalankan ibadah Ramadhan, maka kualitas keimanan pun laku perbuatannya tentu akan semakin baik. Sebaliknya, jika tidak mampu merawat hakikat “kesucian” dari pemaknaan Idul Fitri, sudah pasti kualitas keimanannya akan memudar. Demikian pula segala laku perbuatannya akan menjadi tidak berdasar atas keimanan terhadap Allah SWT.

Esensi Idul Fitri

Dalam sebuah syair Arab dikatakan, laisal ‘id li man tho’atuhu tazid (bukanlah disebut Idul Fitri itu yang berbaju fenomenal, melainkan yang disebut Idul Fitri itu yang kepatuhannya senantiasa aktual). Dalam konteks tersebut, jelas sekali bahwa Idul Fitri tidak perlu dilakukan atau ditunjukkan dengan pelbagai atribut yang bermewah-mewah. Akan tetapi, esensi dari Idul Fitri lebih kepada aktualisasi kepatuhan terhadap Sang Khaliq sepanjang waktu. Di lain sisi, bermewah-mewah dalam merayakan Idul Fitri justru hanya memperlihatkan bentuk kegagalan dalam menjaga dan merawat “kesucian” (baca: hakikat) dari Idul Fitri itu sendiri. Bila digali secara mendalam, maka sesungguhnya mempunyai dampak yang sangat signifikan terkait dinamika persatuan dan kesatuan bangsa.

Jamak disadari, ketimpangan adalah salah satu faktor pemicu terciptanya kecemburuan sosial di masyarakat. Pada titik kulminasi tertentu, kecemburuan sosial tersebut berpotensi besar melahirkan pelbagai tindak kriminal, huru-hara, perpecahan hingga gejala disintegrasi bangsa lainnya. Maka itu, dalam kerangka mempererat persatuan dan kesatuan bangsa sekaligus merawat “kesucian” Idul Fitri, merayakan hari raya Idul Fitri cukup dengan cara-cara yang sederhana penting untuk dilakukan oleh setiap muslim. Hal demikian selaras dengan firman Allah SWT dalam surat al Furqan ayat 67, “Dan orang-orang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.

Dengan merayakan Idul Fitri secara sederhana, maka realitas adanya ketimpangan di masyarakat dapat ditekan seminimal mungkin. Pun dengan sendirinya akan tercipta rasa senasib dan sepenanggungan yang secara tidak langsung akan memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

Akhirnya, merayakan hari raya Idul Fitri sebagai bentuk kemenangan umat Islam (dalam mengendalikan hawa nafsu selama bulan Ramadhan) mutlak tidak boleh dipahami sebagai langkah akhir belaka. Akan tetapi, harus dipahami sebagai langkah baru dengan tantangan yang baru pula, yakni merawat “kesucian” diri pasca-keberhasilan melewati bulan Ramadhan. Dengan terawatnya “kesucian” diri secara terus menerus, maka sudah tentu persatuan dan kesatuan bangsa tidak akan dapat terganggu gugat oleh pihak mana pun. Wallahu a’lam.

Pangki T Hidayat

pegiat sosial-keagamaan, kolumnis dan blogger. Juga merupakan alumnus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

21 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

21 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago