Narasi

Merdeka Beragama

Ada kalanya, bagaimana kita harus merdeka dan saling memerdekakan dalam beragama. Membuang jauh-jauh sifat “merasa” yang akan menjadi beban secara psikis. Mengosongkan segala keangkuhan teologis. Memberikan kebebasan penuh kepada mereka yang berbeda keyakinan untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Begitu-pun sebaliknya. Agama soal ketenangan bukan kesibukan yang tiada tara untuk menilai orang lain. Karena agama adalah kepentingan diri yourself untuk mencapai puncak cahaya rohani dan perbaikan diri.

Karena kita sering mengalami situasi dan kondisi “kesombongan spiritualitas” pada titik paling terdalam. Mengarah kepada kesadaran yang eksklusif. Merasa lebih baik dari orang-orang di sekeliling. Apakah itu dalam ibadah mahdhah maupun ibadah sosial. Membuang jauh-jauh watak “Saya lebih baik dari mereka” “ Dia salah, Saya benar”. Karena secara psikis kondisi pikiran semacam ini sebagai “beban” seseorang yang kadang lupa memerdekakan dirinya dalam beragama. Karena sibuk “diperbudak” memikirkan sesuatu di luar dirinya.

Persoalan yang semacam ini saya kira sebagai “bibit” seseorang bisa melakukan tindakan radikal. Akibat kesadaran spiritualitas yang tidak benar-benar merdeka. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai penyakit hati dalam beragama yang menjadi problem dirinya tidak bebas mencapai puncak spiritualitas suci dan murni. Karena ada unsur-unsur penilaian “Hak” dan “Pemaksaan” dalam dirinya yang membuat kualitas keagamaannya kelabu. Lalu mengarah kepada keputusan untuk melakukan “truth-claim” tanpa ada saringan yang kuat dalam dirinya.

Perlu kita ketahui, bahwa radikalisme yang berusaha merongrong persatuan dan kesatuan bangsa ini, lahir dari kondisi keagamaan yang tidak benar-benar merdeka. Karena ada sifat “merasa” yang ingin ditampakkan yang kadang berujung pada tindakan anarkis. Hal ini merupakan efek  ke-tidak-merdeka-an seseorang dalam beragama dengan segenap beban pikiran untuk lebih unggul dengan segenap keangkuhan teologis yang menyelimutinya.

Baca juga : Merdeka dari Hoaks

Maka radikalisme lahir dari kondisi keagamaan yang tidak merdeka dalam dirinya. Karena ada gejolak untuk menegakkan dirinya sebagai seseorang yang paling benar dan sebagainya. Ingin memuaskan hasrat kesadaran yang paling tinggi bahwa dirinya merasa paling baik dalam ranah keagamaan.

Merdeka beragama merupakan ijtihad dari konsep “Lakum-dinukum-waliyadin”. Dalam kata “Agamamu ya agamamu” begitu-pun “Agamaku ya Agamaku”. Karena pandangan semacam ini, sebagai kemutlakan untuk kita jalani. Bahwa kesadaran untuk memberikan hak atau perlindungan kepada mereka dalam peribadatan. Artinya, satu porsi keimanan seseorang itu merupakan mutlak sebagai kebebasan dia di dalam melaksanakannya. Tanpa ada dasar pemaksaan kehendak seseorang harus mengikuti apa yang kita jalani.

Sehingga, seseorang yang merdeka di dalam beragama akan merasakan ketenangan dalam dirinya. Akan mengalami situasi dan kondisi bagaimana dia lebih suka memperbaiki dirinya sendiri dari pada orang lain. Tanpa ada beban dan tanggung-jawab harus lebih baik dan lebih unggul dari orang lain dalam kualitas beragama. Karena beragama adalah bagaimana cara kita memenangkan diri kita (Nafsu) untuk mencapai puncak rohani dan akan menyebarkan kebaikan-kebaikan.

Pada taraf ini, seseorang akan mendapatkan buah dari hakikat kemerdekaan di dalam beragama. Pertama, potensi diri bisa lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Sehingga agama bagi dirinya dijadikan cerminan untuk mengubah sikap dan tindakan yang tidak baik menjadi baik. Kedua, potensi diri untuk bisa lebih ramah kepada orang lain serta rasa sosial itu akan muncul.

Karena persahabatan dan kekompakan sejatinya lahir dari keagamaan diri yang merdeka. Karena berkaitan dengan hati dan jiwa (kepribadian). Tentu proses pembentukan diri dalam beragama untuk memerdekakan pikiran agar tidak merasa paling benar dan baik. Serta membebaskan diri dari perbuatan yang merugikan orang lain. Serta membebaskan diri dari kepentingan untuk memanfaatkan agama sebagai legalitas atau tameng untuk dirinya di dalam melakukan sesuatu yang membawa kemudharatan.

This post was last modified on 20 Agustus 2020 9:32 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 jam ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 jam ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

3 jam ago

Mewaspadai Penumpang Gelap Perjuangan “Jihad” Palestina

Perjuangan rakyat Palestina merupakan salah satu simbol terpenting dalam panggung kemanusiaan global. Selama puluhan tahun,…

3 jam ago

Residu Fatwa Jihad IUMS; Dari Instabilitas Nasional ke Gejolak Geopolitik

Keluarnya fatwa jihad melawan Israel oleh International Union of Muslim Scholars kiranya dapat dipahami dari…

1 hari ago

Membaca Nakba dan Komitmen Internasional terhadap Palestina

Persis dua tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Senin 15…

1 hari ago