Modus baru aksi terorisme yang terjadi belakangan ini memanfaatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan. Jika sebelumnya aksi-aksi teror cenderung berwajah maskulin dan menggunakan pendekatan patriarkal, saat ini aksi tersebut juga menggunakan pendekatan feminin.
Keberadaan perempuan sebagai teroris di Indonesia mulai terkuak sejak tertangkapnya Dian Yulia Novi, pelaku teror “bom panci” di Bekasi pada tahun 2016. Setelah itu, muncul nama-nama lain seperti: Zakiah Aini (lone wolf); terobos Mabes Polri sambil membawa senjata api pada Maret 2021, Siti Elina; berusaha menerobos penjagaan Istana Negara sambil membawa senjata api pada Oktober 2022, dan Yogi Sahafitri Fortuna (Dewi); insiden bom bunuh diri menggunakan bom panci di Gereja Katedral, Makassar pada Maret 2021, dan lain sebagainya.
Tragedi-tragedi tersebut menyibak fakta keterlibatan perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia yang tak lagi berperan sebagai “pemain pembantu”, tapi juga eksekutor, pasukan perang, bahkan sampai menjadi aktor kunci dalam aksi terorisme.
Menurut Ali Fauzi, mantan pelaku aksi teror bom yang menjadi Doktor Pendidikan Islam, banyak perempuan disiapkan untuk menjadi pengantin bom bunuh diri. Fenomena ini merupakan dampak krisis global dari aksi-aksi teror level dunia yang banyak melibatkan perempuan, seperti di Syiria, Irak, Afghanistan, dan Yaman. Lebih lagi, dalam wacana feminisme menyimpulkan bahwa perempuan adalah kelompok yang bisa diandalkan dalam soal loyalitas, kesetiaan, dan kepatuhan.
Selain itu, kenyataan jika proses pemeriksaan keamaan oleh perempuan tidak seketat laki-laki saat berhadapan dengan petugas keamanan. Lantaran kurang dicurigai sebagai orang yang memiliki potensi melakukan tindak kejahatan. Membuat aksi teror yang melibatkan perempuan semakin marak terjadi.
Perempuan dalam Eksploitasi Aliran Radikal
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa perempuan selalu berada dalam posisi sebagai korban manakala suatu masyarakat sedang ada dalam proses radikalisasi. Perempuan dalam konteks agama apa pun selalu menjadi sasaran deskriminasi dan eksploitasi para penafsir fundamental yang cenderung misoginis.
Diskriminasi penafsiran tersebut, menurut Karen Amstrong dimulai saat sejarah agama dipisahkan dari konteks historis dan keyakinan individu pemiliknya. Perempuan menjadi sasaran kelompok radikalisme agama, sebab atas nama agama, kelompok tersebut memiliki legitimasi dan kontrol atas tubuh perempuan.
Seperti praktik radikalisme dalam agama Islam. Dengan alasan pemurnian agama kelompok radikalis menyerukan agar hukum Islam dapat kembali pada teks Al-Quran dan Hadits. Di Indonesia, kelompok Islam radikal sangat mudah dikenali karena mereka cenderung suka mengusik tradisi keislaman yang sudah mapan dan diamalkan umat Islam di negeri ini, seperti tradisi tahlilan, maulid nabi, dan lain sebagainya.
Yang khas, mereka juga gencar menyebarkan paham anti-Pancasila, anti-demokrasi, anti-kebhinnekaan, dan anti-kesetaraan gender. Fatalnya, mereka juga benci dengan simbol-simbol keindonesiaan, seperti bendera Merah Putih, lambang Burung Garuda, dan lagu Indonesia Raya. Lantaran menganggap itu adalah bid’ah dan thagut yang selayaknya ditiadakan.
Selain itu, gerakan pemurnian agama oleh kelompok radikalis juga digunakan untuk mempertebal perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perempuan jadi objek domestifikasi sehingga, dalam kaca mata sosiologis, perempuan menjadi kelompok rentan dengan literasi rendah.
Beberapa kasus terorisme yang terjadi di Indonesia oleh para perempuan didasari atas landasan teologis yang dijejalkan oleh suami mereka yang notabene para radikalis Islam. Mereka meyakini kewajiban menegakkan negara Islam dan khilafah Islamiyah dengan melakukan jihad menumpas ketidakadilan meski dengan cara membunuh sekalipun. Jihad dalam makna “membunuh semua musuh Islam” ini diistilahkan dengan thagut.
Tak ayal bila perempuan yang terdomestifikasi, yang memiliki literasi rendah itu, menerima pelajaran keagamaan bernuansa radikal tersebut tanpa nalar kritis. Sehingga mengiyakan segala hal yang diterimanya dan mudah terprovokasi atas nama agama, sebelum akhirnya memutuskan bertindak menjadi pengantin bom bunuh diri.
Perempuan Sebagai Juru Perdamaian.
Sebetulnya, alih-alih menjadi pengantin bom bunuh diri, perempuan memiliki kecenderungan lebih sebagai juru perdamaian. Mereka memiliki potensi yang besar dalam membangun dan memelihara toleransi yang diperlukan oleh Indonesia.
Secara psikologis, perempuan dalam peranannya sebagai ibu, memiliki hubungan yang intens dengan buah hatinya hingga mampu memupuk sikap dan mengajarkan anaknya untuk menjadi pribadi yang sabar, tidak mementingkan diri sendiri, toleran, dan rela berkorban.
Para ahli psikologi menyebutkan empat (4) komponen pokok yang dimiliki seorang perempuan (baca: ibu) yakni: 1) altruisme; sifat yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri dan perasaan cinta terhadap orang lain, 2) kelembutan, 3) kasih sayang, 4) aktivitas.
Komponen tersebut nantinya akan membentuk iklim psikis antara ibu dan anak, di mana altruisme keibuan akan mendorong seorang perempuan untuk tidak mementingkan diri sendiri dan senantiasa bersedia mengorbankan segala sesuatu untuk kelestarian lingkungannya, dalam hal ini adalah anaknya.
Oleh karena itu perempuan memiliki sumber daya dan potensi yang besar dalam memupuk sikap toleransi atas perbedaan, karena mereka adalah makhluk sosial yang berkemampuan untuk selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam konteks keindonesiaan, toleransi merupakan faktor utama untuk dapat mewujudkan dan mengimplementasikan sikap moderasi, sekaligus jadi salah satu indikator signifikan untuk menciptakan kerukunan umat beragama.
Indonesia terlalu penting jika keberadaannya hanya disandarkan sepenuhnya kepada pemerintah dan politisi. Seluruh elemen masyarakat juga harus bergerak untuk melindungi persatuan bangsa yang ada dalam semboyan bhinneka tunggal ika.
Dari sini tampak bila perempuan dapat menjadi aktor utama untuk menyemai benih moderasi dalam keluarga untuk mencegah tersebarnya ideologi kekerasan yang akan memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Seperti yang tertulis di dalam sebuah hadis masyhur:
الْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلاَدِ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَتِ الْبِلاَدُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَتِ الْبِلاَدُ
Yang artinya, wanita adalah tiang negara. Apabila wanita itu baik, maka akan baik pula sebuah negara itu berdiri. Namun bila wanita itu rusak (baca: melakukan kebathilan) maka akan rusak pula sebuah negara.
This post was last modified on 7 Maret 2024 10:40 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…