Pagelaran “Metamorfoshow; It’s Time to be One Ummah” membuktikan bahwa gerakan khilafah belum bangkrut. Pemerintah memang telah membubarkan HTI sebagai ormas penyokong khilafah. Namun, ideologi khilafah belum benar-benar mati.
Alih-alih tiarap, para pengasong khilafah justru aktif bergerilya di bawah tanah untuk menyebarkan ideologi radikal transnasional. Sasaran utama mereka adalah remaja, anak muda, dan perempuan.
Sebenarnya, jika kita jeli memperhatikan bagaimana para eks-HTI ini bermetamorfosi, kita tidak akan terlalu kaget melihat fenomenala “Metamorfoshow” ini. Kenyataannya acara serupa bukan kali pertama itu digelar. Sebelumnya, ada sejumlah acara serupa seperti Hijrah Fest, Muslim Life Fest, dan sebagainya.
Acara itu sepintas seperti acara keagamaan biasa. Namun, sebenernya acara tersebut merupakan propaganda massal ideologi keagamaan yang bernuansa konservatif bahkan menjurus radikal ekstremisme. Memang, di acara tersebut para peserta tidak diajak untuk melakukan kekerasan atau berjihad secara langsung.
Namun, pelan-pelan peserta yang kebanyakan adalah generasi Z dan milenial akhir dicuci otaknya agar meyakini bahwa khilafah adalah sistem yang paling sempurna dan wajib ditegakkan.
Mengapa Milenial dan Gen Z Menjadi Sasaran Propaganda Neo-HTI?
Mengapa gen Z dan milenial akhir menjadi sasaran utama propaganda khilafah? Tersebab, mereka dikenal memiliki ghiroh alias antusiasme keagamaan yang tinggi. Namun, di saat yang sama kebanyakan dari mereka tidak memiliki latar belakang keilmuan agama yang mumpuni.
Alhasil, mereka kerap belajar agama secara instan melalui konten atau kajian keagamaan di media sosial. Celah inilah yang dimanfaatkan betul oleh para propagandis khilafah. Maka, kita melihat sendiri bagaimana para pengasong khilafah benar-benar menjadikan media digital sebagai saluran utama dalam mendoktrinkan ideologi khilafah ke kalangan gen Z dan milenial akhir.
Ribuan konten teks, visual, audio, maupun audio-visual diproduksi dan disebar secara masif di kanal-kanal media sosial. Mulai dari artikel populer, meme, siniar (podcast), talkshow, atau video-video pendek. Radikalisasi digital cenderung sukar dibendung.
Karakter media sosial yang serba bebas dan terbuka memungkinkan setiap orang atau kelompok bebas memproduksi dan mendistribusikan opini dan narasinya ke ruang publik. Apalagi secara hukum kita belum memiliki regulasi yang bisa menindak pelaku penyebaran propaganda radikalisme.
UU Anti-Terorisme hanya mampu menjangkau pelaku aksi kekerasan dan terorisme. Alhasil, media sosial menjadi semacam inkubator bagi menetasnya embrio-embrio teroris. Dalam beberapa tahun ini kita menyaksikan sendiri munculnya fenomena terorisme tunggal (lone wolf terrorism) yang melakukan aksinya karena terinspirasi atau belajar dari media sosial.
Selain melalui kanal media sosial, propaganda khilafah oleh neo-HTI juga terjadi melalui budaya populer. Yakni budaya yang tengah hype atau trend di tengah masyarakat. Dalam konteks kekinian, budaya populer yang menjadi sarana propaganda khilafah oleh kelompok neo-HTI itu antara lain musik, film, talkshow, podcast, dan stand up comedy.
Kita tentu masih ingat film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang sempat viral. Film itu sengaja diproduksi untuk menyasar kalangan remaja dan anak muda yang buta sejarah namun punya ghiroh tinggi untuk memperjuangkan kejayaaan Islam.
Dalam konteks musik, ada sejumlah penyanyi dan grup musik (band) yang merilis lagu dengan lirik-lirik yang mengusung tema khilafah, hijrah, dan ummah. Belakangan, para aktivis neo-HTI juga aktif mwngasakan talkshow atau podcast secara langsung dengan bintang tamu para ustad, selebritas atau influencer yang mendukung ideologi khilafah.
Tidak hanya itu, di skena stand up comedy pun muncul genre komika hijrah. Yakni para komika yang berpenampilan layaknya pemuda hijrah dan isi materinya membahas tentang fenomena hijrah. Tujuannya tentu mengajak pada penonton atau pendengar untuk ikut berhijrah seperti mereka.
Amplifikasi Wacana Moderasi Beragama di Medsos
Menggunakan budaya populer sebagai sarana propaganda khilafah adalah strategi jenius. Bagaimana tidak? Budaya populer sangat related dengan kehidupan remaja dan anak muda kekinian.
Maka, tidak ada jalan lain untuk membendung semua itu kecuali dengan memasifkan dan mengintensifkam agenda moderasi beragama melalui media sosial dan budaya populer. Artinya, wacana moderasi beragama tidak boleh bersifat elitis dan hanya disebarkan di kalangan tertentu seperti akademisi, peneliti, mahasiswa, dan sejenisnya.
Sebaliknya, agenda moderasi beragama harus disebarkan secara masif ke seluruh kelompok masyarakat dari segala lapisan. Wacana moderasi beragama tidak boleh hanya hadir di ruang akademik, forum seminar, dan acara formal sejenis.
Wacana moderasi beragama idealnya harus hadir dalam kemasan yang lebih milenial dan gen Z friendly, termasuk dikemas dalam produk budaya populer yang ringan dan menarik. Di saat yang sama, para pegiat wacana moderasi beragama seperti para ulama, kiai, maupun akademisi idealnya juga aktif di dunia digital.
Saat ini, media sosial adalah arena battle ground ideologi keagamaan. Siapa yang bisa mendominasi apalagi menguasai ruang publik digital tersebut dengan opini dan narasinya, dipastikan akan menjadi pemenang dalam pertarungan wacana dan ideologi.
This post was last modified on 26 Februari 2024 12:51 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…