Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki akar-akar tradisi spiritual yang sangat dalam dan kuat. Warisan asli agama-agama yang berkembang di tanah Nusantara ini tidak pernah terlepas dari nilai-nilai universal yang mengajarkan tentang kedamaian, kasih sayang, dan welas asih, bukan ideologi kaku yang penuh kebencian dan ketegangan. Ajaran ini telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang membentuk tatanan sosial yang saling menghargai dan mengedepankan persaudaraan, jauh dari pola-pola dogma yang sempit.
Salah satu contoh konkret dari keberagaman ini adalah proses dakwah yang dibawa oleh Walisongo, sembilan tokoh penyebar Islam di Indonesia. Salah satu karakteristik utama dakwah mereka adalah penghargaan terhadap lokalitas dan budaya setempat. Mereka tidak memaksakan ajaran agama dalam bentuk yang kaku dan tidak sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia pada waktu itu.
Dakwah yang di usung wali songo lebih fleksibel, sehingga mampu beradaptasi dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia. Tentu saja, apa yang di ajarkan oleh Walisongo, berbanding terbalik dengan kelompok radikal yang lebih terobsesi dengan konsep kemurnian agama yang sering kali disertai dengan penghakiman terhadap budaya lokal.
Dalam “Agama Cinta” yang diwariskan oleh Walisongo, rasa kasih sayang terhadap sesama, baik di dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun alam semesta, menjadi landasan utama. Namun, ajaran cinta ini bukanlah cinta yang terlepas dari konteks sosial dan budaya lokal. Justru, ajaran tersebut diwujudkan melalui praktek sosial yang sudah ada dalam budaya lokal Indonesia yang mengakar kuat.
Salah satu wujud nyata dari ajaran cinta Walisongo dapat ditemukan dalam semangat gotong royong yang telah menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Gotong royong mengajarkan bahwa keberhasilan suatu komunitas tidak bisa dicapai oleh individu semata, melainkan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan dan solidaritas. Dalam gotong royong, setiap individu merasa menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar, di mana kepentingan bersama lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, nilai cinta yang terkandung dalam budaya Indonesia tercermin pula dalam filosofi seperti Tepo Seliro yang mengajarkan tentang empati, bagaimana kita harus menempatkan diri pada posisi orang lain untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Ini adalah bentuk lain dari cinta yang diajarkan oleh budaya Indonesia, cinta yang mengedepankan perasaan dan pemahaman terhadap sesama. Cinta yang tidak hanya terbatas pada keluarga atau teman dekat, tetapi juga meluas kepada siapa saja, tanpa pandang suku, agama, atau ras.
Di Maluku, terdapat filosofi Pela Gandong yang mengajarkan pentingnya persaudaraan lintas suku dan agama. Pela Gandong bukan hanya sebuah konsep sosial, tetapi juga sebuah ajaran hidup yang mengutamakan saling membantu dan menjaga hubungan antar sesama. Dalam sistem ini, ketika satu komunitas menghadapi masalah atau musibah, komunitas lainnya dengan sukarela memberikan bantuan, bukan karena adanya kepentingan pribadi, tetapi karena rasa cinta yang tulus sebagai sesama manusia. Pela Gandong adalah bentuk lain dari cinta yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kebersamaan dan kerja sama, mencerminkan kekuatan sosial yang sangat kuat dalam masyarakat Maluku.
Namun, meskipun ajaran cinta menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tradisi masyarakat Indonesia, kita kini menghadapi ancaman serius dari gerakan radikalisasi yang mengusung ideologi agama yang keras dan tidak toleran. Gerakan ini cenderung mengabaikan dan bahkan menghapuskan nilai-nilai lokal yang telah lama menjadi dasar kehidupan beragama dan bermasyarakat di Indonesia. Mereka menggantikan ajaran cinta yang inklusif dengan ideologi sempit yang penuh dengan kebencian terhadap perbedaan.
Kelompok-kelompok radikal ini seringkali menganggap bahwa budaya lokal dan ajaran-ajaran agama yang berkembang di Indonesia adalah sesuatu yang tidak murni, dan harus digantikan dengan bentuk agama yang lebih rigid dan menutup ruang untuk perbedaan. Padahal, dalam sejarahnya, Indonesia justru dikenal sebagai negara yang mampu mengakomodasi berbagai perbedaan budaya dan agama dengan damai. Warisan asli agama-agama di Indonesia, yang berbasis pada ajaran welas asih dan damai, harus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian dari identitas bangsa.
Ajaran cinta bukanlah sesuatu yang bersifat statis, tetapi terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman. Dengan merawat kearifan lokal yang ada, seperti gotong royong, Tepo Seliro, dan Pela Gandong, kita sebenarnya sedang merawat Indonesia dalam bentuk yang paling hakiki, yaitu melalui nilai-nilai yang memanusiakan setiap individu, tanpa memandang perbedaan.
Akulturasi yang terjadi antara berbagai agama dan budaya di Indonesia bukanlah suatu kecacatan, melainkan sebuah kekuatan. Di dalamnya, agama-agama yang masuk ke Indonesia tidak berusaha menghapuskan budaya lokal, tetapi justru berinteraksi dan berintegrasi dengan nilai-nilai lokal yang sudah ada. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya menjadi tempat pertemuan berbagai agama, tetapi juga menjadi wadah bagi tumbuhnya ajaran cinta yang universal dan damai.
Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…
Rentetan kasus kekerasan atas nama agama menyiratkan satu fakta bahwa relasi antar pemeluk agama di…
Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…
Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…
Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…