Mendadak kita dikejutkan dengan informasi bahwa peristiwa pemenggalan kepala terhadap guru sekolah di Perancis, sejatinya dilatari oleh informasi bohong. Di awali oleh informasi bohong mengenai karikatur dan penghinaan yang sengaja dikarang oleh seorang siswa karena khawatir dengan skorsing yang ia terima akan mendapatkan hukuman dari orang tuanya, membuat seorang guru akhirnya harus dibunuh. Ini tentu sebuah kejutan yang sangat menyedihkan dan tak dapat dianggap sebagai sebuah kejadian tunggal dan terpisah begitu saja dengan banyak hal. Sebab selain implikasinya telah menelan korban jiwa dan menghadirkan pelaku pembunuhan, persoalan tersebut juga telah membuat seluruh dunia ketika itu heboh dengan kecaman dan ancaman.
Perlu dicatat bahwa kasus ini memang masih dalam proses pembuktian persidangan. Namun bila sungguh kenyataan ini yang yang menjadi putusan siding, maka setidaknya bisa terlihat bagaimana bukti nyata cara kerja hoax yang tidak dapat disederhanakan sebagai hal remeh sebab sangat gamblang implikasinya dalam menghadirkan budaya destruktif berupa kematian. Lebih mengerikannya lagi ketika mengetahui bahwa milenial-lah yang menjadi pemantik awal kasus ini menyeruak kepermukaan. Hal ini tentu menghadirkan kompleksitas tersendiri yang mesti dipahami terlebih dahulu kerumitannya.
Bila boleh menyederhanakan eksistensi milenial dan realitas daring sebagai sesama “produk” zaman terkini, maka antara milenial dan segala konten daring tersebut seolah menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan. Perkembangan keduanya boleh dikata bergerak saling bersisian satu dengan yang lain. Dalam hal ini, fenomena milenial dan daring bisa hadir dalam ruang yang saling mendukung. Namun dalam fenomena yang berbeda relasi antara keduanya bisa saling mengorbankan satu dan yang lainnya.
Untuk fenomena yang pertama kita bisa melihat contohnya dalam realitas orang muda yang muncul dengan penciptaan fitur-fitur aplikasi yang memudahkan banyak orang dalam dunia internet. Tentu tidak sulit menemukan karya-karya para milenial seperti yang dimaksudkan tersebut. Namun berbeda hal-nya bila kita masuk pada fenomena yang kedua. Pada bagian ini, sekilas kita seolah memperoleh gambaran bahwa antara milenial dan daring yang tumbuh dalam fase waktu yang sama tidak-lah mungkin saling memakan satu sama lain.
Namun bila memperhatikan bagaimana milenial yang gandrung dengan daring mampu termoderasi pemikirannya untuk kemudian mengaplikasikannya dalam dunia nyata, maka pernyataan sebelumnya patutlah didiskusikan ulang. Milenial yang tengah berada dalam fase puber dan teramat gandrung dengan daring tentu memiliki kerentanan untuk termoderasi ke banyak hal, termasuk ke arah kekerasan, post-truth, populisme politik identitas atau pun terorisme. Pada bagian ini jelas bagi kita bagaimana relasi yang terjalin dalam konteks mutualisme ternyata bisa pula bergeser untuk saling memakan satu sama lain.
Di antara Hoax dan Budaya Kematian
Bila sudah ada pada bagian ini, maka sulit untuk menolak kenyataan bahwa kemanusiaan seolah-olah telah tercabut dari akarnya. Daring yang awalnya dekat dengan milenial, bahkan mampu menciptakan simbiosis mutualisme dalam bingkai kehidupan lewat pengarus-utamaan peningkatan kemampuan manusia, bergeser ke arah fenomena di mana manusia ternyata memasuki budaya kematian.
Melalui kecanggihan teknologi yang cepat, banyak dari milenial yang ada semakin menggandrungi segala hal yang berbau kekerasan. Mungkin pada awalnya banyak yang tidak langsung dapat menyadari embrio-embrio dari hal tersebut. Namun sadarkah kita semua bahwa segala hal yang bergaung dengan nada politik identitas, populisme hingga post-truth mampu membuat nalar sehat kemanusiaan kita terjerembab ke kubangan lumpur, sementara yang mengemuka dalam fikiran dan mungkin juga tindakan hanyalah narasi mengenai perjuangan identitas kelompok tertentu saja. Hal demikian kerap terjadi dalam cara berfikir milenial hari ini yang identik dengan letupan emosi yang rentan untuk memuncak, terlebih bila mesti bersentuhan dengan isu-isu yang identitas SARA yang gampang diakses melalui media daring.
Tidak heran bila dalam beberapa kasus, kita mendapati tindakan tidak berprikemanusiaan dilakukan untuk itu. Contohnya banyak sekali, mulai dari kasus fakta persidangan di Perancis atas pembunuhan seorang guru, penembakan di New Zealand, sejumlah kasus terorisme di Indonesia dan luar negeri yang banyak di antara pelakunya tergolong usia milenial, hingga beberapa kasus kekerasan berlatar agama yang banyak pelakunya adalah orang muda seperti yang terjadi di Indonesia.
Kesemuanya itu kebanyakan berkaitan dengan para milenial semenjak di titik mereka memberi dan memperoleh informasi dan tetap menjaga api emosional yang ada dengan terus mengakses informasi hoax yang provokatif. Banyak dari kaum milenial yang telah terpapar hoax kemudian tanpa sadar mengesampingkan nalar penghargaan terhadap hidup manusia dan lebih memilih berpihak pada aksi kekerasan, karena mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan solusi cepat guna menyelesaikan persoalan (perbedaan). Lewat sentuhan yang tepat pada sisi emosional para milenial, segala macam hal yang dirasa tidak mungkin bisa saja diwujudkannya di dunia nyata. Inilah ancaman yang sebenarnya cukup mengkhawatirkan kita semua. Realitas kemanusiaan yang bersifat kosmopolitan semakin terpinggirkan akibat kuatnya narasi politik identitas, populisme dan radikalisme yang tidak canggung untuk berelasi mesra dengan budaya kematian.
Milenial tidak memiliki jalan keluar yang lain. Para milenial mau tidak mau mesti berpacu dengan cepat pula untuk mencermati realitas yang ada. Salah dalam mencermati realitas yang ada, menjadikan milenial akan terjebak dalam budaya kematian, yang pada gilirannya memunculkan habitus kematian pula dalam peradaban kita. Langkah yang paling sederhana bisa dimulai bersama adalah dengan kembali mendekatkan masing-masing diri milenial dengan semangat literasi. Tujuannya agar para milenial tersebut tidak gampang termoderasi oleh hoax dan narasi politik identitas yang menggiring pada radikalisme dan banyak elemen budaya kematian lainnya.
This post was last modified on 12 Maret 2021 4:44 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…