Media sosial menjadi medium primadona masyarakat hari ini karena mudah di akses. Mereka yang di pelosok negeri pun bisa berselancar di media sosial dengan nyaman. Bahkan, saban hari masyarakat seolah tidak ingin terlepas dari gadget hanya demi untuk beraktifitas di media sosial, baik mengirim berita atau informasi, membaca, mengikuti dan segala pernak-pernik di media sosial.
Namun, telah menjadi hukum alam, sesuatu yang memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, dampak negatif selalu menyertai. Tak terkecuali media sosial, beberapa tahun belakangan ia layak dikatakan sedang “tidak sehat”. Media sosial telah keluar dari watak aslinya sebagai medium mempermudah mendapatkan informasi dan berbagi informasi. Ia kini menjadi sarana yang menyajikan banyak konten-konten yang tidak bermanfaat.
Ruang media sosial begitu kacau, fitnah diobral, prasangka buruk diumbar, caci maki tumbuh subur, hate speech atau ujaran kebencian jamak nampang di beranda-beranda online. Suatu fenomena yang membawa pada situasi hadirnya wabah hoaks yang membawa dampak mengkhawatirkan dan memberikan dampak negatif yang signifikan bagi kebangsaan Indonesia.
Dampak negatif dari hoaks sangat merugikan masyarakat, karena berisi kebohongan besar yang menimbulkan fitnah. Sebagaimana dinyatakan oleh agama: “(dampak negatif) fitnah lebih dahsyat dari pembunuhan”. Hal ini menjadi penegasan, berapa fitnah yang sedang marak-maraknya di media sosial adalah dosa besar.
Hoaks dapat memecah belah publik, baik mengatasnamakan kepentingan politik maupun kelompok tertentu. Hoaks memiliki kemampuan luar biasa menciptakan irisan yang membelah masyarakat menjadi dua kelompok atau lebih yang saling berhadapan dalam ketegangan, saling membenci dan permusuhan.
Hoaks juga mampu menggiring opini publik dengan daya provokasinya. Hoaks adalah provokator yang menyemaikan benih-benih permusuhan. Berita-berita hoaks sengaja diproduksi denga tujuan mendiskreditkan kelompok tertentu, mengadu domba antar kelompok dan antar agama. Berita-berita hoaks sengaja dibuat untuk meriuhkan dan menghebohkan masyarakat, tujuannya untuk menciptakan ketakutan dan kekhawatiran.
Budaya Tabayyun Mencegah Hoaks
Ada yang sengaja memproduksi hoaks sehingga tumbuh sangat subur di media sosial. Ada aktor yang menjadi produsen yang dengan sengaja menyebarkan berita hoaks, mereka sengaja melakukannya. Ada pula yang menjadi konsumen, secara “tidak sadar” menyebarkan berita bohong tersebut dengan tanpa beban sama sekali. Tanpa sadar telah menjadi penikmat hoaks, kemudia menjadi aktor penyebar hoaks tersebut.
Ketidak sadaran ini berangkat dari analisa sesaat terhadap berita bohong lalu tanpa analisa dan tanpa meneliti sumbernya dari mana langsung mengambil kesimpulan. Seperti video yang diedit dengan memberikan keterangan palsu, gambar-gambar hoaks, meme mengatasnamakan tokoh tertentu dan lain-lain.
Sebagai umat Islam, fenomena buruk dan miris ini semestinya tidak dilakukan. Ada tradisi “tabayyun” yang apabila dipedomani tentu seseorang akan berpikir seribu kali untuk menjadi produsen maupun konsumen berita-berita hoaks.
Dalam al Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. al Hujurat: 6).
Pada ayat yang lain Allah mengingatkan: “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya”. (QS. al Isra’: 36).
Ayat pertama memerintahkan kita untuk melatih, memupuk, memelihara, serta membiasakan sikap tabayyun (klarifikasi). Ayat tersebut sebagai alarm peringatan kepada kita supaya menjadi pribadi yang kritis dan bijaksana dalam menyikapi berita-berita di media sosial. Suatu berita yang dikonsumsi di media sosial tidak boleh dimakan mentah-mentah, harus terbiasa kritis dan menelaah sumber berita tersebut. Suatu berita yang belum diketahui secara pasti kebenarannya, sepatutnya tidak diyakini sebagai kebenaran, akan tetapi lebih dulu melakukan pengecekan agar dapat memperoleh informasi secara benar dan jelas.
Adapun ayat kedua, menegaskan adanya tindak lanjut dari aktifitas menyebarkan berita-berita hoaks. Bahwa segala aktifitas pendengaran, aktifitas penglihatan dan bahkan apa yang terucap dalam hati sekalipun, semuanya akan diminta pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah pada hari pembalasan.
Bulan Syawal sejatinya menjadi momentum meninggalkan, atau minimal mempertahankan capaian amal baik di bulan ramadhan. Diantara nilai-nilai puasa ramadhan adalah mendidik seseorang agar tidak memperturutkan hawa nafsu buruk, seperti berbohong, menyebarkan kebencian, berita bohong, fitnah dan sebagainya.
Syawal seharusnya menjadi momentum meningkatkan tradisi tabayyun yang memiliki arti tidak tergesa-gesa dalam menerima suatu berita. Memeriksa dan mengklarifikasi setiap berita yang diterima di media sosial supaya terhindar dari aktifitas penyebaran berita hoaks yang jelas merupakan perbuatan dosa besar sebab memicu timbulnya fitnah.
Tabayyun akan menyelamatkan puasa kita di bulan ramadhan dari kesia-siaan, alias tidak ada manfaatnya atau tidak diterima. Seperti telah menjadi pengetahuan umum, indikator diterima atau ditolaknya puasa ramadhan kita tampak dari perilaku setelah ramadhan. Jika setelah ramadhan semua amal ibadah di bulan suci termanifestasi dengan baik, itu tandanya puasa diterima. Sebaliknya, tanda puasa seseorang ditolak adalah melakukan hal sebaliknya dengan kebiasaan waktu ramadhan, yakni membangkang terhadap ajaran Islam. Misal, melakukan kemaksiatan seperti berbohong, mengadu domba dengan berita hoaks dan memfitnah.
Tabayyun adalah melakukan klarifikasi, verifikasi, cek dan ricek terhadap berita yang nangkring di laman-laman media sosial. Tidak mudah percaya sekalipun berita tersebut sesuai dengan opini atau sikap yang dimilikinya.
Mufasir kontemporer Dr Wahbah al Zuhaili ketika menjelaskan kandungan ayat 6 surat al Hujurat di atas mengatakan, melakukan verifikasi serta cek dan ricek terhadap segala ragam berita yang ditemui di ruang publik, merupakan adab-adab dalam masyarakat yang penting untuk diindahkan. Dengan begitu, kesatuan dan keharmonisan kehidupan antar sesam terjaga dengan baik, terhindar dari perpecahan dan permusuhan yang diakibatkan oleh berita-berita hoaks tersebut.
This post was last modified on 8 Mei 2023 1:41 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…