Narasi

Mudharat Perselingkuhan Politik dan Agama

Fenomena membawa, secara kasar, agama dalam praktek politik adalah hal yang cukup memprihatinkan. Sebab keduanya memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Percampuran agama dan politik (islamisme) yang dipaksakan niscaya akan mengaburkan dan menghilangkan esensi agama itu sendiri. Hal  ini yang kurang disadari oleh sebagian bangsa kita. Banyak kasus yang bisa disampaikan. Misalnya banyak politisi yang berasal dari partai berbasis agama tetapi kelakuannya jauh dari nilai-nilai agama. Seperti kasus korupsi yang menerpa para elit politik kita. Padahal saat kampanye mereka berbusa-busa mengklaim sebagai orang yang akan memperjuangkan aspirasi umat. Banyak juga yang menjual ayat-ayat suci untuk meraup dukungan dari konstituennya. Setelah terpilih, ayat-ayat suci pun dicampakan begitu saja.

Maka anjuran untuk memisahkan secara tegas antara agama dan politik merupakan respons atas makin carut-marutnya hubungan antar keduanya. Politik membuat agama menjadi terlihat kotor. Hingga membuat orang semakin skeptis dengan kontribusi agama. Tetapi usaha ini tidak mudah. Sebab akan langsung dihadapkan dengan istilah sekularisme yang merupakan phobia bagi sebagian orang. Mereka yang menganjurkan pembedaan agama dan politik segera dicap sebagai kaum sekuler. Sehingga harus dimusuhi karena mengancam eksistensi agama. Dan kaum itu mudah dimasukan dalam kategori perusak agama. Pandangan ini tentu terlalu gegabah. Kerancuan pemahaman atas konsep ini turut dipicu pemahaman yang lengkap tentang istilah ini.

Merujuk karya Jose’ Cassanona, Public Religion in the Modern World (1994), konsep sekularisasi memiliki tiga makna berbeda. Pertama, sekularisasi sebagai menurunnya kepercayaan atas agama beserta prakteknya pada masyarakat modern. Kedua, sekularisasi sebagai bentuk privatisasi agama. Ketiga, sekularisasi sebagai pembedaan atas ruang-ruang yang tidak berdasarkan agama (seperti negara, ekonomi, ilmu pengsetahuan).

Maka praktek sekularisasi pun tidak bisa disamaratakan. Sekularisasi ekstrem yang dilakukan Kemal Attaturk berbeda dengan sekularisasi di Amerika atau negara lainnya. Di Turki segala hal yang berbau agama dilarang diungkapkan dalam ruang publik. Sehingga penduduk seakan tertekan dengan negara yang serba mengatur kehidupan agama mereka. Negara Indonesia sebenarnya bisa dipandang sebagai negara sekuler. Sebab landasan utama bangsa ini bukanlah agama. Meskipun begitu, pendiri negara kita sangat cerdas dan arif merancang masa depan bangsa ini. Meskipun tidak menggunakan agama, tetapi nilai-nilai agama dimasukan dalam dasar negara kita. Perumusan Pancasila dimaksudkan menyerap nilai-nilai agama yang bersifat universal. Sehingga kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat terpelihara. Jadi pemisahan antara agama dan politik yang terjadi di Indonesia dapat disebut sebagai sekularisasi positif. Karena menjunjung tinggi beragam agama dan keyakinan tetapi tidak ada yang boleh mendominasi. Semuanya diperlakukan secara hormat dan bersahabat.

Hal penting yang perlu dicatat, dengan pembedaan antara agama dan politik, maka beragam argumentasi rasional akan dikemukan untuk memecahkan solusi atas suatu masalah. Berbeda ketika politik dan agama bersatu, yang terjadi adalah saling serang dengan menggunakan dalil. Alquran dibuka hanya untuk membenarkan tindakannya dan menyalahkan pihak lain. Ketika menemukan ayat yang mengkritik tindakan pribadinya, maka disembunyikan agar aibnya bisa tertutupi. Hadist didaras sekedar mencomot perkataan rasul yang membenarkan hawa nafsunya. Yang tidak sesuai dicampakan begitu saja. Jika ini yang terjadi, agama berubah menjadi sumber bagi pertikaian dan kebencian. Nilai-nilai kebaikan agama terkubur oleh oknum-oknum pengagum politik praktis nir-etika.

Apa yang disampaikan di atas bukan dimaksudkan agar bangsa ini meninggalkan ajaran agama dalam perilaku berbangsa dan bernegara. Sebab banyak kehidupan bangsa ini yang terinspirasi dan bersumber dari agama. Dan itu  sah-sah saja. Contohnya sekolah madrasah (menggabungkan ilmu umum dan agama), hukum perkawinan, dsb. Agama pun berperan memberi pegangan moral agar seseorang berlaku adil dan bijaksana (hal yang penting dalam kehidupan berbangsa). Penulis hanya sekedar mengingatkan agar ada kehati-hatian sekaligus kekritisan dalam melihat perilaku sebagian kalangan yang gemar membawa agama dalam isu politik. Agar tidak muncul lagi ungkapan kebencian yang berbalut agama. Maka mulai sekarang, stop menggunakan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

10 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

10 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

10 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago