Narasi

Mudik dari Kebencian

Menarik membaca Tajuk Rencana Harian Kedaulatan Rakyat (11/06) perihal “Bersyukur Memiliki Tradisi Mudik”. Dalam Tajuk ini dipaparkan bahwa mudik dimaknai sebagai kembali ke asal sebagai manusia, dengan melepas kegaduhan yang sering membuat kita lupa sebagai manusia yang memiliki kewajiban hablum minallah sekaligus hablum minanash. Mudik dapat menjadi titik kulminasi dari proses panjang ibadah puasa Ramadhan yang dapat melatih manusia kembali kepada jati diri dan hakikat sebagai manusia sejati. Jati diri yang menjadi bersih dan fitri atau suci.

Gambaran tersebut semakin mengonfirmasi bahwa masih kurang lengkap bila perayaan Idul Fitri tidak dibarengin dengan tradisi mudik. Apalagi bagi sebagian masyarakat Indonesia, mudik merupakan tradisi turun temurun yang tidak bisa tergantikan dengan nilai materi apa pun. Bahkan tradisi mudik sudah terpatri kuat dalam realitas sosial kultural masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dilacak karena esensi mudik bisa merepresentasikan proses sosial lintas generasi yang dikontruksikan sebagai upaya penguatan rasa kebersamaan sesama masyarakat. Rasa kebersamaan inilah yang kemudian diikuti oleh tata kelola nilai dan etika yang bisa melepaskan kita dari ego pribadi hingga ego sektoral lainnya. Hal itu tampak dari kebersamaan yang hadir sesaat setelah kita mengelar silaturahmi antar sanak saudara meski berbeda pendapat dan pandangan politik.

Ujaran Kebencian

Akan tetapi, setelah sekian lama tradisi mudik terlaksana, tidak serta merta menjadikan mayoritas masyarakat kita terbebas dari rasa kebencian ketika terjadi perbedaan pandangan politik. Justru, di era revolusi industri 4.0 masyarakat kita kian terpolarasi dan larut dalam pusaran perbedaan hanya karena berbeda pandangan politik. Hal itu dapat dilacak dari banalitas para warganet di media sosial yang kerap diwarnai kontestasi caci maki dan ujaran kebencian. Bahkan menurut data Polri selama tahun 2017 tercatat ada 3.325 kasus kejahatan ujaran kebencian (hate speech). Angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 1.829 kasus. Adapun tindak pidana ujaran kebencian  yang paling banyak terjadi adalah kasus penghinaan, yaitu 1.657 kasus, atau naik 73,14%. Kemudian kasus perbuatan tidak menyenangkan sebanyak 1.224 kasus, serta pencemaran nama baik sebanyak 444 kasus.

Lebih ironisnya lagi, para pelaku ujaran kebencian berasal dari berbagai profesi terhormat seperti dosen, guru, hingga karyawan. Dikatakan demikian karena, kasus ujaran kebencian timbul bukan berasal dari “tumpulnya kecerdasan intelijensia” atau tingkat pendidikan, namun minimnya kecerdasan emosional seseorang. Eksesnya aspek emosional kian mendominasi dan mengalahkan rasa rasionalitas. Artinya, apabila seseorang telah terjangkiti sindrom kebencian, tidak ada lagi aspek kebaikan bagi lawan politik dalam nalarnya. Sindrom kebencian inilah yang saban hari kian mengerogoti nalar kewargaan terutama dalam langgam demokrasi digital. Bahkan, nalar kebencian ini acapkali mengalir hingga aksi persekusi yang kemudian menciptakan polarisasi ditengah masyarakat. Sebut saja aksi yang dilakukan sekelompok orang kepada ibu rumah tangga karena mengunakan salah satu kaos kandidat politik di arena Car free Day Jakarta beberapa waktu silam.

Epilog

Pada akhirnya, bila kita sepakat mudik merupakan upaya membangun kolektivitas sosial dalam watak masyarakat. Sudah saatnya kita segera meninggalkan “unsur kebencian” kepada pihak-pihak yang berbeda pandangan dan haluan politik. Berbeda pendapat dan pilihan kandidat politik itu lumrah dalam konteks demokrasi. Akan tetapi, bila pilihan tersebut dapat membuat kita tega memutus tali silaturahmi hingga saling blokir akun media sosial, itu bukan lagi mencerminkan karakter asli masyarakat Indonesia yang Pancasilais.

Justru tradisi mudik harus dapat mengajak kita semua untuk saling bersinergi melakukan perlawanan terhadap narasi-narasi kebencian yang bisa menimbulkan polarisasi di masyarakat. Sehingga esensi “mudik dari kebencian” ini dapat memberikan motivasi bagi kita untuk segera melepaskan ego pribadi dan sektoral yang seringkali bersemayam dalam nalar politik kita. Mari kita jadikan tradisi mudik Lebaran sebagai pijakan membangun kembali kolektivitas antar anak bangsa dalam upaya mempertegas nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan. Selamat Idul Fitri 1439 H.

This post was last modified on 21 Juni 2018 4:27 PM

Bambang Arianto

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

1 jam ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

2 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

2 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

2 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

1 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

1 hari ago