Narasi

Idul Fitri, Halal bi Halal dan Momentum Mempererat Persaudaraan

Ketika Idul Fitri tiba, ada momentum yang sangat berharga, yaitu halal bi halal. Halal bi Halal merupakan tradisi orang Islam Indonesia yang saling silaturahim dan saling memaafkan antar keluarga, saudara dan tetangga. Tradisi ini baik untuk dilestarikan mengingat persaudaraan sebangsa kita semakin jelas perbedaannya yang menyebabkan konflik.

Dewasa ini garis-garis perbedaan antar kelompok semakin dipertegas. Perbedaan akan berpotensi menjadi konflik apalagi kalau diperparah dengan kepentingan politik praktis. Membedakan antara partai Allah dan partai setan misalnya, semakin menyulut konflik antar kelompok. Perbedaan berpendapat dan keyakinan menjadi rahmat yang seharusnya tidak semakin dipertegas garis-garisnya.

Setiap kelompok mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal. Baik kelompok agama ataupun kelompok organisasi kemasyarakatan, mempunyai standar sendiri terhadap suatu kebenaran. Seringkali perbedaan antar kelompok tersebut ditonjolkan untuk menampilkan identitas atau eksistensi atas kelompoknya. Sikap saling menyerang atas keyakinan orang lain dan perbedaan sikap dewasa ini semakin tampak. Seharusnya hal demikian tidak terjadi untuk membuktikan sebuah kedewasaan kelompok tersebut.

Kelompok yang semakin mempertebal garis perbedaan biasanya mempunyai cara pandang yang eksklusif. Mereka menganggap bahwa kelompoknya paling benar tanpa menerima pandangan orang lain yang berbeda dengannya. Orang yang mempunyai pandangan seperti itu biasanya dia hanya terpaku pada teks apa yang dikatakan dalam kitab, tanpa menggali lebih jauh apa yang dikehendaki teks, dan pada konteks apa teks tersebut turun. Tidak adanya usaha untuk mempelajari lebih mendalam apa yang ada di dalam teks  membuat seseorang hanya bersikap angkuh atas apa yang diyakininya.

Keangkuhan budaya berpikir dan bersikap tersebut akan melahirkan sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menganggap orang atau peradaban lain sebagai kesalahan. Akibat dari keangkuhan budaya tersebut, kemudian lahir sikap kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan apa yang diyakininya. Cara pandang seperti itu, bagi Gus Dur adalah benih-benih lahirnya sikap radikal dan terorisme.

Idul Fitri dan Persaudaraan

Idul Fitri menjadi momentum untuk menghapus garis-garis perbedaan yang menyulut konflik. Idul Fitri adalah momentum untuk saling memaafkan dan momentum kemenangan atas umat Islam yang telah melawan nafsu atas dirinya sendiri. Di dalam kelompok umat Islam, walaupun banyak perbedaan prinsip dalam beribadah, atau perbedaan sikap, namun kita masih mempunyai banyak persamaan daripada semakin mempertebal perbedaan. Pada substansinya kita sama-sama beribadah kepada Allah Swt., mencari ridha-Nya atau mencari rahmat-Nya.

Dalam mencari ridha dan rahmat-Nya ada banyak jalan yang tidak seharusnya diperdebatkan. Sepertihalnya orang ketika hendak pergi ke Jakarta, ada banyak jalur yang dilalui, ada yang nyaman menggunakan bus, kereta, mobil pribadi atau pesawat. Semua jalan untuk menuju tujuan tergantung kemampuan dan kenyamanan setiap orang. Perbedaan kendaraan yang dipakai seharusnya tidak diperbedatkan, asal mempunyai tujuan yang sama.

Begitu juga dengan Idul Fitri, sebelum momentum tersebut ada ibadah yang wajib dilalui oleh setiap orang Islam yaitu puasa pada bulan Ramadhan. Puasa wajib dilakukan oleh setiap muslim yang beriman. Tidak ada perbedaan dalam menjalankan puasa tersebut, namun perbedaan hanya terletak pada cara penentuan awal Ramadhan dan shalat sunnah tarawih yang dilakukan. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak mempengaruhi rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Selain puasa Ramadhan, orang Islam juga harus membayar zakat fitrah.

Perbedaan dalam menjalankan shalat tarawih tidak menjadi masalah yang penting untuk diperdebatkan. Toh, setiap orang yang beribadah di bulan suci Ramadhan tujuannya adalah untuk mencari ridha dan rahmat-Nya. Bagi Habib Jindan, persamaan kita bagi umat Islam adalah “Laa ilaha illallaah” dari persamaan ini baginya kita haram untuk saling membenci, mengganggu, prasangka buruk, mencaci, bergosip, provokasi satu sama lain, mengambil hartanya orang lain. Idul Fitri adalah momentum untuk menyambung persaudaraan, saling memaafkan, menjaga prasangka baik kita. bagi Habib Jindan, ketika meninggal jangan membawa dengki dan benci kepada orang lain. Agar menjadi orang yang khusnul khotimah, rasa benci dan dengki sebaiknya selalu kita hilangkan. Idul Fitri adalah momentum yang tepat untuk kembali fitrah atau mensucikan hati.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

3 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

3 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

3 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

3 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

21 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

21 jam ago