Narasi

Muhammad dan Kehidupan

Konon, al-Ghazali adalah salah satu ulama yang memandang sosok Muhammad dengan dua perspektif, sebagai sosok spiritual, yang otomatis bersifat universal, dan sebagai sosok manusia yang sudah pasti terbingkai oleh segala konteks yang mengitarinya.

Sebagai sosok spiritual, Muhammad mewariskan hal-hal yang bernilai universal yang pada akhirnya membuatnya dikenal sebagai curahan rahmat bagi semesta alam. Sementara, ketika ia dikabarkan tidur dengan memiringkan tubuhnya ke arah kanan dan menggunakan salah satu tangannya sebagai bantal, seumpamanya, adalah keadaan diri Muhammad sebagai sesosok manusia yang bisa jadi tak mesti untuk diikuti. Dengan kata lain, al-Ghazali seolah telah memperhitungkan berbagai ekses yang mungkin muncul ketika sosok Muhammad ditelan mentah-mentah.

Maka, dalam hal ini, polemik nasab para “habaib” yang baru saja ramai di Nusantara adalah salah satu contoh kasus dari ekses ketika sosok Muhammad ditelan mentah-mentah. Baik yang pro-“habaib” sebagai keturunan Muhammad maupun yang kontra, namun dengan menyuguhkan dirinya sendiri sebagai keturunan Muhammad, adalah sama-sama kalangan yang tersandung oleh sosok Muhammad sebagai manusia, yang otomatis hanya berlaku khusus atau sama sekali tak ada manfaatnya bagi khalayak Nusantara.

Pemilahan al-Ghazali, yang bagi sementara golongan didamik sebagai salah seorang ulama tradisional-konservatif, seolah terbantahkan oleh pemilahannya atas sosok Muhammad yang jelas-jelas bersifat kritis dan seturut dengan keadaaan ruang dan zaman. Maka, konsekuensi paling radikal atas pandangan al-Ghazali tentang sosok Muhammad adalah gamblang bahwa satu-satunya kata yang paling mungkin untuk merangkum “Muhammad” adalah “kehidupan.”

Adakah, kemudian, berdasarkan kesimpulan paling radikal dari pemilahan al-Ghazali, kehidupan itu hanyalah terasa bagi para anak keturunan Muhammad semata, terasa bagi umat Islam semata, dan bahkan terasa bagi manusia semata?

Dengan demikian, maka menjadi terang kenapa konon, dalam kabar, ketika Muhammad lahir, alam seolah ikut merayakan. Dan jelas, kabar-kabar semacam ini tak semata berlaku untuk Muhammad, konon Sidharta pun, dan barangkali juga sosok-sosok yang dianggap sebagai simpul-simpul kesadaran, mengalami hal yang sama. Maka ketika berbicara tentang tuntutan zaman yang seakan-akan menghendaki agama untuk tampil lebih toleran dan inklusif, penempatan Muhammad sebagai sosok spiritual, di samping sosok historis, terasa lebih dapat menyikapi keadaan.

Bukankah terdapat ungkapan bahwa siapa yang mengatakan, pada akhirnya, bukanlah sebuah persoalan daripada apa yang dikatakan?

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

3 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

3 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

3 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

3 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

3 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

4 hari ago