Anak-anak tampak menjadi target prioritas kelompok radikal teroris untuk mewariskan doktrin ekstrem mereka. Situasi ini bisa terjadi salah satunya ketika anak muda bertemu dengan lingkar kajian keagamaan yang eksklusif.
Jangan salah. terlepas dari peminatan mereka terhadap kajian keagamaan, anak-anak terhitung mulai sekolah dasar sejatinya lebih mudah diarahkan dan dicuci otaknya. Mereka dikenalkan bahwa syariat itu bertentangan dengan multikulturalitas.
Lihat saja, aksi vandalisme perusakan makam Kristen/Katolik terjadi (LAGI) ini Kota Yogyakarta dan Bantul. Lima kuburan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Baluwarti di Kampung Kembang Basen, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta, ditemukan rusak pada Jumat (16/5/2025) oleh ANF, seorang anak SMP berusia 16 tahun.
Perusakan juga terjadi pada sepuluh makam beridentitas kekristenan di TPU Ngentak di Kalurahan Baturetno, Banguntapan, Bantul, yang berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari TPU Baluwarti. Hal serupa dilaporkan terjadi pula di TPU Gedongkuning di Kecamatan Banguntapan serta TPU Jaranan di Kecamatan Sewon, Bantul (BBC, 2025).
Semua nisan makam yang dirusak adalah makam umat Kristen yang ditandai dengan simbol salib. Aksi tergolong nekat karena diduga dilakukan pada siang hari. Sejauh ini ANF yang berasal dari keluarga broken home diduga beraksi seorang diri dan masih dalam pemeriksaan (Kompas.id, 19 Mei 2025, dan wawancara dengan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB Kecamatan Banguntapan, 23 Mei 2025).
Anak muda juga bertanggung jawab atas perusakan makam Kristen di TPU Cemoro Kembar di Kampung Kenteng, Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah, pada Juni 2021.
Sekelompok anak berusia 9-12 tahun, Rabu 12 Juni 2021, merusak nisan pada sejumlah makam di tempat tersebut, khususnya pada bagian simbol salib pada nisan. Para pelaku merupakan siswa dari lembaga pendidikan yang lokasinya hanya sekitar 50 meter dari makam (Kompas.id, 2021).
Ada problem mendasar terkait pemahaman anak ihwal masyarakat multikulturalis. Multikulturalisme adalah pandangan atau cara berpikir yang mengakui, menghargai, dan memelihara keberagaman budaya dalam suatu masyarakat. Dalam konteks ini, “budaya” mencakup aspek-aspek seperti bahasa, agama, adat istiadat, nilai-nilai, dan identitas etnis.
Para tokoh pemikir sosial mengedepankan tesis bahwa praktik multikulturalisme dalam masyarakat modern mengacu pada situasi sosial di mana berbagai kelompok budaya yang berbeda hidup berdampingan secara harmonis dalam satu masyarakat. Nurcholis Madjid mengistilahkannya dengan masyarakat madani.
Sulit dimungkiri, tantangan utama dalam menerapkan kesadaran pada anak tentang pentingnya multikulturalitas adalah ketegangan dalam konteks perbedaan keyakinan atau budaya. Tak jarang, kasus persekusi berbasis SARA banyak terjadi di wilayah dengan keragaman yang tinggi. Jika kesadaran terhadap yang berbeda ini diabaikan, maka benturan SARA tak akan terelakkan.
Bagaimana dengan posisi syariat dalam konteks sosio-multikultur?
Secara terminologi, syariat adalah hukum agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan dengan Allah SWT, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam sekitar.
Ada yang hilang ketika menjelaskan kerangka syariat pada pola berpikir anak. Di satu sisi syariat memang eksklusif ketika menjelaskan soal ritualitas. Tetapi di sisi lain, anak perlu tahu bahwa multikultiralitas itu adalah bagian integral dari syariat itu sendiri.
Tidak perlu jauh-jauh mengkaji pada prinsip maqashid syariah. Anak perlu tahu bahwa Nabi Muhammad diutus di Makkah dengan banyak ragam tradisi dan warisan budaya jahiliyah. Ibadah Haji, misalnya. Syariat tidak digunakan untuk mengeliminir proses haji, melainkan mendialogkannya sesuai dengan norma-norma Islam yang dibawa Rasulullah.
Ketika Nabi diutus ke Madinah, umat Muslim juga bertemu lebih banyak lagi dengan situasi multikulturalis. Nabi tidak menyatukan mereka atas nama syariat, melainkan menjaga kehidupan mereka dan kesejahteraan masyarakat atas nama syariat.
Dalam hal ini, penting untuk menanamkan pada anak-anak bahwa syariat Islam, pada dasarnya, adalah pedoman hidup yang mengarah pada kebaikan umat manusia secara universal.
Salah satu prinsip utama dalam syariat Islam adalah menjaga hak asasi manusia dan menghormati martabat setiap individu, tanpa memandang latar belakang agama atau budaya mereka. Oleh karena itu, memperkenalkan anak-anak pada konsep multikulturalisme sebagai bagian dari syariat Islam adalah langkah yang sangat penting.
Perusakan makam Kristen yang melibatkan anak-anak adalah cermin dari kurangnya pemahaman tentang pentingnya multikulturalitas dalam konteks syariat Islam. Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara nilai-nilai agama yang eksklusif dengan realitas sosial yang multikultural.
Untuk itu, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa syariat Islam tidak hanya mencakup aturan-aturan ibadah, tetapi juga mengajarkan pentingnya hidup berdampingan dengan keberagaman budaya dan agama. Pendidikan yang lebih inklusif dan pengajaran yang menekankan toleransi serta penghargaan terhadap perbedaan harus menjadi bagian dari usaha untuk menciptakan masyarakat yang damai dan sejahtera di Indonesia.
Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…
Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…
Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…
Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…
Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…
Di jantung kepulauan Nusantara, tersembunyi kearifan-kearifan purba yang tak lekang oleh waktu. Dari tanah Sulawesi,…