Keagamaan

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras menganggap formalisasi syariah sebagai kewajiban absolut umat Islam. Kaum liberal berpendapat sebaliknya. Syariah Islam adalah produk kuno yang ketinggalan zaman dan sudah seharusnya masuk keranjang sampah.

Kedua pandangan itu harus diakui kontraproduktif terhadap perkembangan Islam itu sendiri. Kaum radikal cenderung memaksakan kehendak untuk menerapkan syariah sesuai tafsiran mereka. Kaum liberal cenderung menafikan kenyataan bahwa syariah adalah bagian dari perkembangan Islam.

Kita butuh diskusi yang lebih konstruktif dalam menyikapi polemik ini. Dalam konteks inilah, gagasan pakar hukum Islam, Abdullah an Naim tengang dekonstruksi syariah kiranya relevan dihadirkan dalam konteks keindonesiaan hari ini.

Sebagai seorang moderat progresif, An Naim tidak menampik bahwa syariah adalah bagian dari Islam. Namun, ia juga tidak begitu saja mendukung gagasan formalisasi syariah kaum radikal.

Dalam pandangan An Naim, syariah Islam itu bersumber dari ayat-ayat Alquran yang dalam sejarahnya turun di Mekkah dan Madinah. Ayat-ayat Makkiyah, dikenal dengan karakteristiknya yang universal, ditujukan untuk umat manusia, tidak hanya umat Islam saja. Dalam pandangan An Naim, ayat-ayat Makkiyah kental dengan nuansa penghargaan atas hak asasi manusia dan perbedaan (pluralitas dan multikulturalitas.

Sedangkan ayat Madaniyyah yang turun pasca Rasulullah hijrah cenderung lebih spesifik berbicara pada umat Islam. Ayat-ayat Madaniyyah memiliki karakteristik yang membahas tentang peribadatan, hukum, dan isu-isu spesifik. Dalam pandangan An Naim, ayat Madaniyyah juga membahas tentang diskriminasi, bahkan kekerasan terhadap kelompok non muslim.

Maka dari itu, menurut An Naim, ayat-ayat Makkiyah cenderung lebih relevan diterapkan di zaman sekarang ketimbang ayat-ayat Madaniyyah. Tersebab, ayat-ayat Makkiyah cenderung universal, dan steril dari unsur diskriminasi apalagi kekerasan.

Untuk mendukung gagasan itu, An Naim menawarkan teori nasakh terbalik. Jika selama ini, yang dikenal dalam dunia fiqih adalah ayat Madaniyyah menghapus (menasakh) ayat Makkiyah, maka An Naim mengusulkan sebaliknya. Yakni ayat Makkiyah yang menasakh ayat Madaniyyah. Artinya, ayat yang turun di Madinah tidak lagi berlaku, dan sebaliknya yang berlaku adalah ayat Makkiyah.

Gagasan inilah yang lantas populer dengan istilah dekonstruksi syariah. Jadi, jika umat Islam ingin menerapkan syariah Islam, maka rujukannya bukan ayat Madaniyyah melainkan Makkiyah. Dalam keyakinan An Naim, ayat-ayat Makkiyah relevan diterapkan dalam konteks dunia Islam kekinian yang menghadapi banyak krisis sosial dan kemanusiaan. Termasuk adanya perpecahan akibat pluralitas dan multikulturalitas.

Tawaran An Naim ini perlu dielaborasi lebih lanjut di tengah polemik kontroversi penerapan syariah antara faksi radikal dan liberal. Agenda formalisasi syariah kaum radikal tentu hanya akan membawa perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia yang majemuk. Penerapan hukum Islam yang kaku seperti qishas, rajam, cambuk, atau potong tangan akan bertentangan dengan hukum yang berlaku dan disepakati bersama selama ini.

Namun, penolakan syariah seperti ditunjukkan kaum liberal juga tidak menyelesaikan persoalan. Bagaimana pun juga, syariah adalah bagian dari Islam. Maka, tawaran moderat progresif, yakni menghadirkan kembali ayat-ayat Makkiyah yang universal adalah tawaran yang patut dipertimbangkan.

Lantas, bagaimana penerapannya dalam konteks Indonesia hari ini? Langkah pertama, mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ideologi dan konstitusi bangsa. Pancasila dan UUD 1945 mencerminkan penerapan ayat-ayat Makkiyah yang universal. Seperti bisa dilihat, ayat Makkiyah senantiasa didahului dengan kalimat “wahai manusia”, atau “wahai anak adam”. Kalimat itu mencerminkan visu universalitas Islam. Hal yang sama tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945 yang mengakui persamaan hak warganegara terlepas dari identitas agama dan sukunya.

Kedua, mengembangkan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang bertumpu pada ajaran Islam, bukan sekedar simbolisasi apalagi hanya menonjolkan kemasan Islam. Misalnya, dalam konteks ekonomi, sebagian umat Islam masih kerap terpukau dengan konsep ekonomi atau perbankan syariah yang diklaim lebih syar’i atau islami ketimbang sistem perbankan dan ekonomi konvensional.

Padahal, acapkali jika dilihat secara detil, sistem perbankan dan ekonomi syariah itu hanya berubah nama atau kemasan. Di dalamnya masih banyak praktik ketidakadilan yang tidak sesuai dengan ruh ajaran Islam. Maka, yang dibutuhkan umat bukan Islam simbolik yang berlindung di balik jargon syariah. Namun, sistem sosial yang mengadaptasi prinsip keadilan dan persamaan hak dalam Islam.

Terakhir, mengembangkan sistem sosial dan politik yang menjamin kebebasan dan persamaan hak bagi kelompok rentan. Mulai dari kalangan minoritas non muslim, perempuan, dan kaum rentan lainnya.

Artinya, kita wajib memastikan semua undang-undang atau regulasi hukum yang berlaku itu menjamin hak dasar setiap warganegara. Kita wajib memastikan tidak ada lagi regulasi yang mendiskriminasi kelompok minoritas dan perempuan.

Jika ketiga hal itu terwujud, maka sejatinya kita telah berhasil menegakkan syariah Islam, tanpa harus memformalkan hukum Islam klasik ke dalam sistem perundangan kita. Intinya, kita umat muslim tidak boleh terjebak pada euforia jargon syariah Islam yang seolah tampak suci dari luar, namun problematik dari dalam.

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

1 hari ago

“Multikulturalitas vis-à-vis Syariat”, Studi Kasus Perusakan Makam

Anak-anak tampak menjadi target prioritas kelompok radikal teroris untuk mewariskan doktrin ekstrem mereka. Situasi ini…

1 hari ago

Bertauhid di Negara Pancasila: Menjawab Narasi Radikal tentang Syariat dan Negara

Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…

2 hari ago

Penangkapan Remaja Terafiliasi ISIS di Gowa : Bukti Nyata Ancaman Radikalisme Digital di Kalangan Generasi Muda

Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…

2 hari ago

Jalan Terang Syariat Islam di Era Negara Bangsa

Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…

2 hari ago

Pancasila : Jalan Tengah Menerapkan Syariat di Tengah Pluralitas

Di jantung kepulauan Nusantara, tersembunyi kearifan-kearifan purba yang tak lekang oleh waktu. Dari tanah Sulawesi,…

3 hari ago