Sebagian pemikir muslim mengaitkan musyawarah dengan demokrasi, karena adanya partisipasi publik dalam mengambil keputusan. Inilah yang dinilai paling legitimate dijadikan benang merah antara demokrasi dan Islam, sehingga keduanya dinilai tidak ada pertentangan. Namun ada saja yang menilai, musyawarah dalam Islam tidak identik dengan partisipasi publik dalam demokrasi. Perdebatan mengenai hal ini memang belum tuntas seutuhnya.
Yang jelas, musyawarah atau syura menempati posisi penting dalam ajaran Islam, yang karenanya seringkali diselenggarakan oleh Rasulullah Saw. Dalam karyanya, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan (Jakarta: Rajawali, 1986, h. 89), Muhammad al-Buraey bahkan menuliskan: “Sedemikian penting prinsip syura dalam syariat, sehingga surat ke-42 diberi nama al-Syura”. Di sinilah keputusan akan muncul dari masukan banyak pikiran, sehingga diharapkan keputusan final menjadi kesepakatan bersama dan tidak ada kelompok yang terugikan.
Dalam konteks Indonesia dengan Pancasilanya, musyawarah menempati posisi tersendiri yang tertuang dalam Sila Keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ini juga menunjukkan kebersamaan dalam pengambilan keputusan menjadi kesadaran bersama bangsa ini, yang bahkan harus menjadi filosofi dasar dalam menjalankan segenap agenda kehidupan.
Hal ini menunjukkan, baik dalam konteks Islam maupun Indonesia, musyawarah menempati posisi sangat urgen kaitannya dengan kemufakatan dalam pengambilan keputusan. Akar kata musyawarah yang dikenal dalam konteks Indonesia pun diambil dari al-Qur’an. Inilah keunikan keterbaikan keislaman dengan keindonesiaan.
Musyawarah, kata serapan dari bahasa Arab ini, menurut M. Quraish Shihab (Wawasan al-Qur’an: h. 469), berakar dari sy-w-r yang mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Dalam perjalanannya, makna ini lantas berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat.
Pakar tafsir ini menjelaskan, madu dihasilkan oleh lebah. Maka, yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah; disiplin, kerja sama, makanannya sari kembang dan hasilnya madu. Di manapun hinggap, ia tiada pernah merusak dan ia tiada mengganggu kecuali ia diganggu sebagai pembelaan diri. Sengatannya pun bernilai obat. Inilah makna permusyawarahan dan demikian pula sifat yang melakukannya.
Dalam Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996, h. 112), J. Suyuthi Pulungan menulis, musyawarah bisa dimaknai sebagai forum tukar-menukar pikiran, gagasan ataupun ide, termasuk saran-saran yang diajukan guna memecahkan masalah sebelum tiba pengambilan keputusan.
Oleh sebagian kalangan, dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah prinsip konstitusional yang wajib diselenggarakan dalam pemerintahan dengan maksud untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat; dan tentunya jauh dari nilai-nilai kemaslahatan.
Bagaimana sesungguhnya al-Qur’an berbicara perihal musyawarah? Setidaknya ada tiga ayat yang akarnya menunjukkan arti musyawarah.
Pertama, Qs. al-Baqarah [2]: 233. Allah Swt berfirman: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya”.
Ayat ini lingkupnya domestik, karena menyangkut penyapihan anak dalam rumah tangga. Allah SWT menerangkan secara singkat, jika penyapihan anak didasarkan atas kerelaan suami dan istri, pun atas dasar permusyawarahan diantara mereka, maka hal itu dibenarkan dan tidak memantik dosa apapun. Ini menunjukkan, dalam hal yang terkesan sepele saja, hanya menyangkut dua orang (plus anak) kita diarahkan untuk saling mengerti dan dilandaskan pada kebersamaan, lebih-lebih pada hal-hal non-domestik yang menyangkut hajat hidup banyak orang.
Kedua, Qs. Ali ‘Imran [3]: 159. Allah Swt berfirman: “Maka disebabkan rahmat Allah-lah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian jika engkau sudah membulatkan tekad, bertawakAllah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kada-Nya.”
Ayat ini secara redaksional memang di-khitab-kan kepada Nabi Muhammad SAW, namun tentu saja pelajaran penting tentang permusyawarahan tidak lantas berlaku sempit hanya baginya, melainkan bagi seluruh umatnya dan para pemimpin penggantinya dengan melibatkan rakyatnya. Ayat ini juga menunjukkan perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, yang menerima wahyu dan dianugerahi pengetahuan yang tidak mungkin salah, untuk tetap bermusyawarah dengan umat terkait hal-hal publik. Perintah ini menunjukkan amat urgennya partisipasi umat muslim dalam urusan sosial dan politik.
Ketiga, Qs. al-Syura [42]: 38. Allah Swt berfirman: “Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antar mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rejeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
Menurut M. Quraish Shihab (h. 471), ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah (Ansar) yang bersedia membela Nabi Muhammad SAW dan menyepakati hal ini melalui musyawarah yang mereka selenggarakan di kediaman Abu Ayyub al-Anshari. Dikatakan Quraish, kendati ayat ini turun dalam kondisi yang khusus, namun berlaku secara umum bagi seluruh umatnya.
Diakui Quraish (h. 471), petunjuk al-Qur’an tentang musyawarah, selain hanya terdapat pada tiga ayat saja, juga dinilainya tidak rinci. Ini mengesankan bahwa musyawarah tidak mendapat porsi perhatian dan elaborasi yang memadai dalam ajaran Islam. Namun, katanya, kesan itu akan sirna dengan mendalami lebih jauh lagi kandungan ayat-ayat tersebut. Dikatakannya juga, petunjuk al-Qur’an yang lebih rinci banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar serta tak mengalami perubahan dan perkembangan. Itu sebabnya, uraian perihal metafisika, seperti surga dan neraka, amat rinci karena ini merupakan personal an yang tidak terjangkau nalar.
Demikian halnya soal mahram (yang terlarang dinikahi), karena ia tidak mengalami perubahan dan perkembangan. Adapun persoalan yang mengalami perubahan dan perkembangan, al-Qur’an menjelaskan petunjuknya dalam rupa prinsip-prinsip umum, agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan perkembangan sosial budaya manusia.
Dikatak Ahmad Vaezi (Agama Politik: Nalar Politik Syiah, h. 235), Nabi Muhammad SAW menunjukkan sikapnya yang lebih menghormati hasil konsultasi publik itu, kendati tidak bersesuaian dengan pandangannya sendiri. Beliau tak jarang harus meminggirkan keinginannya guna mengedepankan pandangan umatnya.
Jika tradisi musyawarah ini terus dilestarikan dan diselenggarakan dengan kepala dingin, oleh semua kalangan, maka segala problem kemasyarakatan yang berpotensi mengancam keutuhan bangsa ini akan terselesaikan. Potensi konflik sosial akan tertanggulangi. Demikian halnya potensi konflik akibat sentimen agama, suku, ras, juga akan bisa diminimalisir. Untuk itu, sebagai bagian inheren dari budaya bangsa ini, musyawarah mufakat sudah semestinya menjadi acuan utama dalam setiap penyelesaian konflik. Bukan adu otot, melainkan adu pikiran melalui argument yang kokoh.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments