Sebagian besar dari kita tentu pernah menonton film tentang makhluk mutan. Yakni organisme yang mengalami perubahan genetik (DNA). Dalam berbagai film fiksi ilmiah, mahkluk mutan ini kerap divisualkan ke dalam wujud yang menyeramkan, memiliki rupa dan tubuh yang aneh, dan diposisikan sebagai tokoh antagonis (jahat). Kelebihan mereka hanya satu, yakni sukar sekali dibunuh, bahkan bisa mati berulang kali lalu hidup kembali.
Gambaran makhluk mutan yang sukar dibunuh itu cocok untuk menggambarkan bagaimana gerakan radikal-ekstrem di Indonesia. Sel-sel gerakan radikal-ekstrem di Indonesia itu ibarat makhluk mutan yang sulit sekali dibinasakan. Mereka senantiasa bermutasi, bukan dalam konteks berubah fisik, namun lebih ke mutasi ideologis. Mereka lihai mengkamuflasekan gerakannya ke dalam berbagai cara dan bentuk.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa memetakan mutasi ideologis HTI dan FPI sebagai dua pentolan gerakan radikal ini ke dalam setidaknya tiga model. Pertama, mutasi dalam konteks gerakan. Pasca dibubarkan, HTI dan FPI bersalin nama. FPI tetap mempertahankan akronim yang kadung melekat di benak publik itu. Namun, bukan lagi memiliki kepanjangan Front Pembela Islam, namun Front Persaudaraan Islam.
Sedangkan HTI cenderung lebih mencari aman dengan memakai nama baru. Salah satu yang paling terkenal adalah Komunitas Royyatul Islam. Secara nama, mereka memang berganti, namun secara subtansi tetap sama. FPI masih setia dengan model gerakan keagamaan yang intoleran, anti pada kelompok minoritas non-muslim, dan adaptif pada kekerasan. Sedangkan Komunitas Royyatul Islam setia melanjutkan agenda HTI, mendirikan kekhalifahan Islam.
Kedua, mutasi dalam konteks pendekatan dakwah di lapangan. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana HTI dan FPI berusaha membangun citra (image) baru di kalangan umat Islam. Terutama di kalangan generasi Z yang menjadi target indoktrinasi dan rekrutmen mereka. HTI misalnya, mengubah strategi dakwahnya menjadi lebih nge-pop dan adaptif terhadap gaya hidup yang tengah menjadi tren di kalangan anak muda.
Salah satunya dengan aktif di beragam platform media sosial. Medsos telah menjadi sarana kanalisasi kelompok radikal untuk mendiseminasi ideologi dan indoktrinasinya. Kanalisasi ideologi radikal ini terbilang efektif untuk menjangkau generasi Z. Terbukti, fenomena swa-radikalisasi sejauh ini lebih banyak terjadi di kalangan gen Z. Swaradikalisasi ini terjadi karena penyebaran ideologi kekerasan dan kebencian kini terkanalisasi di media sosial. Alhasil, doktrin radikalisme bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Ketiga, mutasi dalam konteks posisi atau afiliasi politik. Kaum radikal-ekstrem adalah kelompok nomaden yang tidak pernah menetap atau setia dengan kekuatan politik tertentu. Tempo hari mereka bisa berada di belakang kekuatan politik tertentu. Namun, tidak ada jaminan bahwa kesetiaan dan afiliasi itu akan bertahan lama.
Kaum radikal adalah golongan kutu loncat yang bisa berganti afiliasi politik sesuai arah angin. Sikap politik mereka cenderung dikendalikan oleh nalar pragmatisme. Mana yang paling menguntungkan, itulah yang akan dipilih. Hari ini, mereka bisa bisa memuja tokoh politik tertentu bahkan menganggapnya sebagai pahlawan yang akan memperjuangkan kejayaan Islam. Namun, di lain hari mereka bisa saja mencaci habis-habisan tokoh tersebut dengan label pengkhianat dan sebagainya.
Moderasi Beragama Sebagai Vaksin Anti-Radikalisme
Para mutan-mutan itu akan menjadi parasit demokrasi. Mereka menumpang hidup di alam demokrasi, namun menggerogoti bangsa dan negara dari dalam. Mutan-mutan ideologis tentu tidak boleh disikapi permisif. Demonstrasi segelintir massa bertajuk reuni aksi 411 tempo hari hanyalah secuil bukti bagaimana kelompok radikal-ekstrem itu ibarat makhluk mutan. Mereka sulit dibasmi, mudah bersalin rupa, tidak konsisten alias mudah berpindah haluan.
Cilakanya, mutan-mutan ini bisa menularkan virusnya ke seluruh masyarakat. Maka, disinilah pentingnya kita membangun sistem imunitas alias kekebalan agar terhindar dari mutase virus ideologi radikal. Bagaimana caranya? Moderasi beragama tentu menjadi vaksin yang wajib disuntikkan ke seluruh umat Islam. Namun, tidak berhenti di situ saja. Moderasi beragama tidak boleh dilakukan secara sporadic dan terkesan formalistik.
Jika diseminasi radikalisme terkanalisasi melalui media sosial dan mengadaptasi kultur yang relevan dengan anak muda, seharusnya moderasi beragama pun melakukan hal yang sama. Moderasi beragama tentu harus dikanalisasi melalui beragam platform media sosial. Moderasi beragama idealnya disajikan ke dalam konten digital yang bisa diterima kalangan generasi Z.
Pelibatan budaya populer dan pemengaruh alias influencer dalam upaya diseminasi moderasi beragama kiranya juga menjadi hal yang urgen. Perang yang kita hadapi saat ini adalah perang narasi di kanal-kanal maya. Pemenang dari kontestasi ideologi ini adalah kelompok yang punya jejaring sekaligus kanal untuk membentuk opini dan persepsi publik.
Ada sebuah pertemuan bertajuk (Temu Muslimah Muda 2024) “The Next Level Activism: We Aspire, We…
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius dengan munculnya aktivisme keagamaan radikal yang menyasar…
Budaya populer merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang mencakup film, musik, media sosial, fashion,…
Banyak survei internasional mengakui bahwa Indonesia lekat nilai-nilai religius dalam setiap denyut nadi warganya. Hampir…
Belum lama ini, saya membaca kembali buku The Death of Expertise karya Tom Nichols. Buku…
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang…