Narasi

Atas Nama Merah Putih, Merawat Nalar NKRI

Dwi warna merah dan putih yang menjadi warna bendera negara Indonesia bukanlah sekedar paduan warna. Founding Fathers bangsa ini, terutama Bung Karno tidak asal comot warna bendera merah putih itu. Bukan pula sekedar peristiwa heroik arek-arek Suroboyo pada 20 November 1945 yang berjibaku memanjat dinding hotel di Surabaya lantas merobek bendera kolonial Belanda yang berwarna merah putih biru itu.

Bung Karno, para pejuang Indonesia dan juga segenap rakyat Indonesia memiliki pemahaman yang dalam tentang makna merah putih. Merah putih adalah jati diri bangsa yang digali dari kepribadian dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Dalam setiap peristiwa penting di kehidupan masyarakat, warna merah putih adalah perlambang spirit kehidupan untuk mendapatkan kejayaan dan kebaikan dalam hidup.

Ketika seorang bayi lahir ke dunia dan telah puput (lepas) tali pusarnya, orang tua segera memasak bubur merah putih lalu dibagi-bagikan kepada sanak saudara dan tetangga, seraya mendaras doa untuk kesuksesan dan keselamatan dunia-akhirat sang bayi. Demikian juga, ketika membangun rumah, kebiasaan masyarakat mengikatkan bendera merah putih di salah satu sudut atap rumah sebelum ditutup dengan plafon, dengan harapan rumah itu mendapatkan keberkahan dan perlindungan dari bencana dan marabahaya.

Warna merah putih adalah warna Indonesia, akrab di kesadaran yang paling dalam rakyat Indonesia. Masyarakat Papua mengakrabi warna merah dan putih melalui Pepeda, yaitu campuran antara buah soradi yang berwarna merah dengan sagu yang berwarna putih. Masyarakat sunda mengenal istilah kagunturan madu dan karagragan menyan putih. Madu berwarna merah, dan menyan berwarna putih. Keduanya digunakan sebagai pernyataan rasa gembira dan ungkapan syukur. Masyarakat minang mengenal istilah Sekapur Sirih. Kapur berwana putih dan sirih berwarna merah. Masyarakat Bali menyebut burung garuda yang sebagai burung merah putih (sveta rakta-khagah) dan memiliki makna filosofis pembebasan umat manusia dari belenggu perbudakan dan penjajahan, baik belenggu jasmani maupun belenggu dunia materi.

Kerajaan Majapahit pun menggunakan bendera merah putih yang dilambangkan dalam bentuk gula kelapa. Demikian pula ketika Kerajaan Singosari berperang melawan Kerajaan Kediri menggunakan bendera merah putih. Hal itu terjadi jauh sebelum Gajah Mada mampu menyatukan nusantara. Di Candi Borobudur –yang dibangun tahun 824 masehi- terdapat relief yang berbentuk tiga orang perwira mengibarkan Pataka atau bendera yang dipercayai juga berwarna merah putih. Jelaslah sudah, bahwa pemilihan warna merah putih sebagai warna bendera Indonesia tidak muncul tiba-tiba, tetapi melalui perenungan yang mendalam dan penelusuran sejarah kearifan bangsa yang panjang. Maka, tak heran jika Muhammad Yamin dalam bukunya berjudul 6000 Tahun Sang Merah Putih (terbit tahun 1951) menegaskan, bahwa merah putih telah lahir 6000 tahun lebih awal dari negara Indonesia.

Bagi Umat Islam, warna merah putih adalah warna kejayaan dan warna keindahan yang diberikan kepada Rasulullah SAW. Sebuah riwayat yang disampaikan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW pernah bersabda; “Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya. Dan Allah melimpahkan kepadaku dua perbendaharaan, yaitu merah dan putih.”

Merah putih adalah spirit Indonesia, inspirasi bangsa, dan semangat negara kesatuan yang dibangun oleh para Bapak pendiri bangsa sebagai Republik Indonesia. Pilihan negara Indonesia dalam bentuk republik adalah ijtihad terbaik bangsa ini, yang memposisikan kepentingan rakyat lebih tinggi dari pada kepentingan sekelompok orang saja. HOS Tjokroaminoto mengandaikan pemerintahan yang melayani kepentingan rakyatnya sebagai pemerintah yang ‘sempurna’.

“Pemerintah yang ‘sempurna’ adalah sebuah pemerintahan yang memiliki sebuah perwakilan rakyat yang bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat. Pemerintahan berbentuk republik adalah sebuah bentuk pemerintahan yang paling sesuai bagi bangsa Indonesia.” (Tjokroaminoto, 1981).

Selain itu, dalam bentuk negara republik, pemegang kedaulatan adalah rakyat. Berdasarkan kedaulatan rakyat, maka yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Karena itulah, Bung Hatta menolak bentuk negara monarki ataupun oligarki yang menyerahkan kekuasaan hanya kepada satu orang atau beberapa orang saja. Pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat, jelas Bung Hatta, akan lebih tangguh karena dijunjung oleh tanggung jawab kolektif dimana ketika muncul perasaan tanggung jawab bersama, akan muncul pula sendi kenegaraan yang kokoh (Hatta, 2014).

Bentuk negara republik Indonesia yang berbalut negara kesatuan adalah sebuah ijitihad kebangsaan yang tepat, melalui pemikiran filosofis yang mendalam, sekaligus penuh pertimbangan akan kondisi Indonesia yang secara geografis berbentuk kepulauan.

Daulah NKRI, Bukan Daulah Lainnya

Ketika mengemuka sebuah tanya, “apakah bangsa itu?”, Benedict Anderson menjawabnya sebagai imagined community; sebuah komunitas yang terbayangkan. Komunitas yang tidak bisa ditunjuk secara kasat mata komponen-komponennya, tapi bisa dirasakan. Ada imajinasi akan sebuah kesatuan yang bisa dihadirkan dengan keragaman etnis dan budayanya, serta heterogenitas penduduknya yang tinggi. Kebhinnekaan itu menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang paling artifisial di muka bumi. (Anderson, 1991). Pendeknya, Indonesia adalah negara dengan kemajemukan yang unik.

Kemajemukan itulah yang menjadi dasar utama Indonesia berbentuk negara kesatuan. Upaya-upaya yang berusaha memecah belah Indonesia adalah bentuk penentangan atas kehendak rakyat Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, ujian pertama NKRI adalah usaha kolonial Belanda untuk membentuk negara Indonesia menjadi negara federal dengan membagi-bagi kekuasaan berdasarkan wilayah Indonesia dalam peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Meskipun konferensi ini menghasilkan pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka, tetapi dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Negara yang berbentuk federal ini membagi Indonesia menjadi 16 negara bagian yang masing-masing memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang berbeda. Republik Indonesia mendapatkan wilayah terluas dan penduduk terbanyak, selain negara Sumatera Timur, negara Sumatera Selatan, negara Pasundan dan negara Indonesia Timur.

Rakyat bereaksi. Pembentukan negara RIS tidak sesuai jiwa dan kehendak rakyat Indonesia. Terjadi demonstrasi di mana-mana yang menghendaki pembubaran RIS dan penyatuan beberapa negara bagian RIS.

Dan benar saja, kurang dari delapan bulan dari masa berlakunya, RIS berhasil dikalahkan oleh semangat persatuan bangsa Indonesia. Beberapa negara bagian membubarkan diri dan memilih bergabung dengan Republik Indonesia, di antaranya adalah negara Jawa Timur, negara Pasundan, negara Sumatera Selatan, negara Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Dayak, Bangka, Belitung dan Riau.

Praktis, pada tanggal 5 April 1950 RIS hanya terdiri dari negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, dan Republik Indonesia. Hingga kemudian, pada 17 Agustus 1950, RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia menjadi bentuk negara kesatuan kembali.

Penggalan sejarah perjalanan NKRI tersebut adalah jalan peneguhan ijtihad NKRI yang tak perlu dipertanyakan kembali. NKRI adalah pilihan paling baik bagi bangsa Indonesia. Dengan bentuk negara kesatuan, pemerintah pusat mendapatkan mandat untuk mengatur jalannya negara secara umum. Dengan pemerintahan yang dikontrol dari pusat, kebijakan yang dibuat pemerintah pusat atas daerah-daerah bersifat adil dan merata. Inilah yang membedakan dengan bentuk negara federal. Bayangkan jika Indonesia menganut system federasi, di mana masing-masing daerah memiliki kekuasaan dan kedaulatannya sendiri-sendiri. Akan muncul ketimpangan dan kesenjangan yang bisa menyebabkan disintegrasi bangsa. Kendati Indonesia berbentuk NKRI, bukan berarti pembangunan sangat terpusat yang mengebiri potensi daerah. Dengan konsep otonomi daerah dan desentralisasi, daerah dapat mengembangkan potensi terbaiknya.

Nalar NKRI ini seyogyanya dijaga dan dirawat bersama. Setiap upaya yang menyoal NKRI atau berusaha mengganti NKRI dengan bentuk yang lain seperti negara khilafah, daulah Islamiyah, apalagi agama berideologi komunis, adalah pengingkaran atas kehendak rakyat Indonesia. NKRI adalah pilihan dan keputusan rakyat Indonesia atas dasar persatuan dan kesatuan. Inilah yang disebut NKRI harga mati.

This post was last modified on 1 Desember 2016 2:37 PM

Hamim Enha Gipo

Direktut Al-Biruni Institute – Center for Islam and Inter-Cultural Studies. Alumni Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang. Aktif sebagai aktivis perlindungan anak pada Jaringan Anak Nusantara (Jaranan). Menjadi salah satu pengasuh di Pesantren Motivasi Indonesia –Nurul Mukhlisin Bekasi. Karya yang sudah dibukukan: Jejak Pengabdian (Biografi Kyai Djuweni Purbalingga), Mekarya Publishing; Berbeda-Beda Tetapi Tetap Damai Juga, Aswaja Press.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

7 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

7 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

7 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

7 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago