Tradisi menulis –dalam aksara Arab, Jawi-Pegon- di kalangan ulama-kyai Nusantara sudah berlangsung sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu. Beberapa di antaranya malah menjadi karya monumental dan diakui oleh dunia intelektual. Sirajuth Thalibin misalnya, sebuah karya yang dianggit oleh Kiai Ihsan Jampes Kediri, konon pernah menjadi bahan ajar “muqarrar” di sebuah kampus Islam ternama di Kairo, al-Azhar as-Syarif. Produktifitas ulama dan Kyai Nusantara dalam menulis karya berbahasa Arab juga bisa dilihat dari sosok KH. Sahal Mahfudz –Allahu Yarhamhu-. Karya-karya beliau sebagian besar mengupas disiplin ilmu ushul fiqh (yang konon merupakan disiplin ilmu yang sangat dikuasai beliau).
Dalam menuliskan buah karyanya, di samping bertujuan untuk dakwah dan menyebarkan ilmu pengetahuan (nasyrul ilmi), beberapa ulama-kyai Nusantara juga memiliki motif untuk menjawab problematika di sekitarnya. Sebagai contohnya, Syaikh Abdus Shomad Palimbani, menulis karya berjudul Nasihatul Muslimin wa tadzkiratul mu’minin fi jihad fi Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah dalam rangka menggerakkan dan menggelorakan semangat masyarakat untuk melawan kolonial Belanda. Syeikh Mukhtar Bogor menulis kitab berjudul As-Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah fi Bayan Hal al-Balut wa ar-Raddu ala Man Harramah ( Kitab tentang belut dan Menolak Pendapat yang mengharamkannya) Kitab tersebut memaparkan hukum memakan belut, untuk menjawab kritik dan sindiran orang Arab yang menganggap orang Jawa (baca: Indonesia) yang doyan makan belut dimana oleh orang-orang Arab dianggap bagian dari spesies ular.
Dan belum lama ini, Kiai Muhammad Said bin Ridlwan Lirboyo Kediri, seorang Kiai muda dari Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, menulis sebuah risalah tentang Nasionalisme. Risalah kecil dan tipis ini mengulas seputar cinta tanah air dilihat dari berbagai aspeknya. Buku tersebut diberi judul, Ad-Difa’ ‘Anil Wathan Min Ahammil Wajibat ‘Ala Kulli Wahidin Minna (Membela Tanah Air; Salah Satu Kewajiban Terpenting Bagi Kita).
Dalam buku tersebut dijelaskan demikian:
Membela tanah air secara garis besar memiliki dua tujuan utama: pertama, membangun sikap keberagamaan manusia. Kedua, membangun “wasilah” yang mengantarkan kepada tujuan yang pertama yang bisa dicapai dengan kerjasama dan gotong-royong antar sesama masyarakat. Untuk mencapai kepada dua tujuan utama di atas setidaknya ada empat prinsip dasar.
1.Menguatkan persaudaran umat manusia
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh terbaik dalam membangun peradaban umat manusia. Dimana beliau berhasil membangun Negara Madinah. Pada titik ini, kewajiban bagi kita semua adalah menjaga persatuan umat manusia tanpa memandang suku, agama, ras, tradisi dan bahasa.
Persatuan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan. Melainkan juga mencakup aspek-aspek lainnya seperti; politik, sosial, ekonomi dan militer.
2. Menjaga perdamaian dan menciptakan kemaslahatan prinsip-prinsip universal (Maqashid Syariah)
Terciptanya perdamaian merupakan bentuk kenikmatan dan kebaikan yang tidak ternilai harganya. Dimana kemaslahatan agama dan dunia tidak bisa digapai tanpa adanya perdamaian. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Mawardi, bahwa syarat terciptanya kemaslahatan dunia adalah perdamaian umat manusia yang dapat mengantarkan ketentraman jiwa.
Di samping itu, upaya perdamaian ini dapat dilakukan dengan menolak kelompok-kelompok baik dari dalam maupun luar yang melakukan tindak teror dan kekerasan. Begitu juga menolak kelompok-kelompok takfiri yang melecehkan hak-hak hidup umat manusia.
3. Konsisten dalam mewujudkan kebaikan
Segenap rakyat wajib membantu pemerintah dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan. Sebab, pemerintah bila tidak dibantu oleh rakyatnya tidak mungkin dapat mewujudkan perdamaian. Rakyat harus mendukung dan membantu pemerintah sesuai tugas, peran, dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing rakyat.
4. Menanam Dan Menumbuhkan Sikap Cinta Tanah Air Kepada Generasi Muda
Meskipun membela tanah air merupakan sesuatu yang bersifat jibily (watak), akan tetapi sikap ini harus ditanam dan ditumbuh-kembangkan kepada generasi muda bangsa Indonesia, di mana rongrongan dari gerakan organisasi transnasional pengusung ide khilafah marak di mana-mana.
Sebagaimana diakui sendiri oleh penulisnya, bahwa risalah ini hanyalah berisi kumpulan pendapat-pendapat ulama salaf dan dikutip dari kutubul mu’tabaroh. Hanya saja, dalam beberapa bagian, penulis kitab ini juga melakukan kritik tajam kepada orang-orang Islam radikal yang memaknai jihad secara tunggal; perang. Bagi Kiai Muhammad Said, Jihad terpenting di era sekarang bukanlah jihad mengangkat senjata. Tetapi jihad memberantas kebodohan, memperbaiki moral, jihad atas kelaliman, penindasan, dan ketidakadilan, mengurangi kemiskinan, menolong kelompok marjinal, dan lain sebagainya.
Walhasil, kitab tipis dan ringan ini wajib dibaca oleh semua kalangan untuk menumbuhkan kembali semangat nasionalisme dan kebangsaan, untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bangsa dan Negara Indonesia.
This post was last modified on 10 Mei 2016 1:22 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…