Categories: Narasi

NKRI Punya Siapa?

Pernahkan Anda terkejut oleh pertanyaan ‘unik’ anak-anak, yang mungkin kita anggap sebagai pertanyaan remeh, namun terkadang kita malah lebih memilih untuk diam? Entah karena bingung mencari jawaban yang tepat. Atau memang kita benar-benar tidak tahu jawabannya.

Suatu ketika saya ditanya oleh salah satu keponakan yang berumur 10 tahun, “Om, Indonesia itu punya siapa sih?” Saya pun menjawab ngasal, “Ya punya orang-orang Indonesia lah. Masa’ punya orang Arab?!” Tanpa diduga, ternyata ia menukas jawaban ngasal saya, “Lha bukannya punya Allah. Kan kata Pak Ustadz yang suka nongol di TiPi, semua yang ada di dunia itu milik Allah. Berarti Indonesia itu punya Allah?”

Saya pun kembali menjawab ngasal, “Ya iyalah kalo kata Pak Ustadz sih gitu, semuanya milik Allah.” Tiba-tiba ia kembali angkat suara, “Oya Om, kalo Indonesia itu punya Allah, berarti Indonesia itu punya orang Islam, dan kitab suci (negara)-nya juga harus Alquran dong? Kan cuma orang Islam yang punya Allah dan Alquran? Tapi kok yang dibaca pas upacara itu malah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945?” Saya pun kembali dibuatnya tercengang plus bingung mau jawab apa. Akhinya saya cuma bilang, “Kamu tanya aja sama Ayahmu gih. Om lagi sibuk.”

Setelah saya cermati, ternyata hal yang dulu pernah ditanyakan keponakan saya kini menjadi bagian dari fenomena kehidupan kita. Ada sebagian pihak yang memang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pada syari’at Islam. Ada yang secara frontal menafikan pancasila sebagai landasan negaranya. Ada pula yang bergerilya secara halus dengan bermain langsung dengan sistem yang sudah ada.

Biasanya sebagian dari mereka beranggapan bahwa berdirinya NKRI itu tidak bisa dilepaskan dari peran umat Islam lewat jihad fi sabilillah-nya. Bahkan tak jarang menyebutkan tokoh-tokohnya seperti K.H. Hasyim Asy’ari, Imam Bonjol, pangeran Diponegoro, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga menekankan kemerdekaan Indonesia itu tak lain hanya rahmat Allah sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3 UUD 1945. Sehingga mereka berjuang untuk menciptakan Indonesia berlandaskan pada asas tauhid. Tauhid dalam pengertian mereka.

Jika merunut pada sejarah, memang hal itu (peran umat muslim dalam kemerdekaan NKRI) tidaklah salah dan begitulah faktanya. Namun mereka lupa dengan peran para pejuang lainnya yang berasal dari berbagai suku, agama, ras, dan adat. Para pejuang non Muslim itu juga punya peran terhadap kemerdekaan bangsa, inipun fakta yang tak bisa dibantah.

Adalah wajar jika hal itu terjadi. Sebab, setiap manusia, baik individu maupun kelompok, berkepentingan untuk merumuskan eksistensi diri dan mengenali porsi juga proporsi kehidupannya. Dengan kesadaran dan pengetahuan eksistensi diri dan kelompoknya inilah, manusia mampu mengidentifikasi serta mengekspresikan segala cipta, rasa dan karsanya sesuai dengan konteks kehidupannya. Padahal selain dirinya dan kelompoknya itu, ada juga individu atau kelompok di luar dirinya dengan konteks kehidupan yang tentunya memiliki cipta, rasa dan karsa yang berbeda. Idealnya hal ini menuntut setiap pihak untuk tidak egois melampiaskan pemenuhan eksistensinya. Pun menimbang secara bijak keberadaan ‘yang lain’ yang juga memerlukan pemenuhan eksistensi. Akan tetapi, realita yang sering terjadi justru sebaliknya. Inilah problem identitas dan pluralitas dalam kehidupan.

Untuk itulah konstitusi dasar Republik ini dibuat dengan pertimbangan keberbedaan itu. Dalam bahasa negara keberbedaan itu disebut dengan ke-Bhineka-an. Bhineka Tunggal Ika, perbedaan yang menjadi satu. Kesadaran itu kemudian melahirkan gagasan-gagasan hukum yang mengayomi semua golongan. Kewarganegaraan tidak berdasarkan identifikasi primordial, baik agama, etnis, maupun latar belakang dan status sosial. Semua perbedaan itu berada di bawah payung dan pengayoman yang sama.
Jadi, sebenarnya Indonesia itu punya siapa?

Ahmad Mustofa

Mahasiswa UIN Yogjakarta Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir. Aktif di IRSAD (Islamic Research Study of Al Quran and Democracy) Yogjakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

19 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago