Categories: Kebangsaan

Parade Tahu Diri

Di usianya yang memasuki angka 70 tahun, Indonesia masih tegap berdiri sebagai sebuah negeri makmur. Di negeri ini berbagai perbedaan dirangkul dan menjadi inti dari persatuan dan kekuatan yang menghindarkan Indonesia dari berbagai tantangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. 70 tahun bukan saja tentang rentang waktu yang telah dilalui, tetapi juga tentang semakin banyaknya pengalaman dan pembelajaran untuk semakin kuat membela negeri.
Dalam perjalanan panjang itu, bangsa besar bernama Indonesia ini nyatanya masih harus terus-terusan terusik dengan banyaknya persoalan kecil namun cukup berisik. Diantara persoalan yang cukup menarik perhatian, sekaligus menyedihkan, itu adalah masih adanya kelompok-kelompok yang risih dengan perdamaian. Mereka melakukan segala cara agar perdamaian dan kemakmuran tidak lagi ada di Indonesia.

Kekerasan dan perpecahan tampaknya menjadi tujuan utamanya. Untuk memuluskan impiannya ini, mereka mengumbar isu-isu rusuh agar masyarakat mudah dipancing dalam situasi kisruh. Jangankan isu seputar sosial atau ekonomi, isu-isu seputar agama pun mereka caplok juga. Sakralitas dan fungsi suci agama seolah sudah tidak lagi membuat kelompok penggila kekerasan ini berpikir ulang sebelum menebar hasutan penuh intrik permusuhan dan kekerasan.

Isu-isu terkait dengan agama malah dijadikan triger utama untuk memancing kemarahan massa, hingga akhirnya pecah banyak keributan yang menelan banyak korban, baik dalam bentuk harta benda maupun korban jiwa.
Berbagai tindak kekerasan yang kerap kali secara serampangan diatasnamakan kepentingan untuk membela agama terjadi secara cukup terorganisir. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku brutal tersebut tidak begitu saja terjadi, ada banyak persiapan dan koordinasi picik yang ditujukan demi ‘kelancaran’ kekerasan.

Artinya, parade kekerasan yang terjadi atas nama agama memiliki tujuan lebih dari sekedar membuat masyarakat ketakutan dan makin gila dalam bertuhan. Semakin lama semakin terkuak muka aslinya, gaung tentang khilafah dan kecenderungan untuk mengkafir-kafirkan pemerintah ternyata tidak lebih dari sekedar akal-akalan yang mereka gunakan untuk merebut kekuasaan.

Ajaran-ajaran agama disesaki dengan kebohongan dan hasutan agar masyarakat mengira bahwa rentetan kekerasan yang mereka pamerkan telah menyenangkan Tuhan.
Mereka lupa, atau mungkin memang sudah tidak perduli lagi, bahwa melawan negara merupakan salah satu bentuk dari sikap tidak tahu diri. Karena bukannya berterimakasih atas keindahan alam dan budaya yang telah turut membesarkan kita, mereka malah mendorong kita untuk lupa dan memporak-porandakan bangsa ini dengan segala cara.
Beberapa kalangan bahkan berpendapat lebih keras dengan menyatakan bahwa melawan negara sama halnya dengan melawan Islam. Sebab negara merupakan instrumen pokok dalam implementasi nilai-nilai Islam. Apalagi untuk konteks Indonesia, negara ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Kita bahkan bersujud di bumi Indonesia dan bersesuci menggunakan air yang dititipkan tuhan di negeri ini.

Kekecewaan atau bahkan kemarahan akibat banyaknya kebijakan pemerintah yang dianggap menyusahkan memang selalu ada. Kita bahkan bisa menyaksikan bersama bahwa masih ada banyak hal tidak beres di negeri ini, tetapi hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghukum negeri ini dengan tindak-tindak kekerasan yang tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali masalah lain yang lebih memilukan.

Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menjaga dan turut berbuat nyata untuk kemajuan Indonesia. Bahkan bagi mereka yang masih mengira bahwa dasar negara Indonesia harus diganti dengan hukum Islam, harus tetap berjuang demi keutuhan bangsa. Karena di negeri inilah mereka mengenal dan belajar Islam, andai mereka lahir di negeri lain yang mayoritas penduduknya tidak mengenal Islam, sangat mungkin mereka tidak akan mengerti sedikitpun tentang agama ini.

Karenanya, jika mereka merasa sangat beruntung menjadi Muslim, maka mereka wajib membela negeri dimana mereka dapat secara leluasa mengenal dan belajar lebih dalam tentang Islam, yakni Indonesia. Karena jika –sekali lagi—tuhan tidak menitipkan kita di Indonesia, ceritanya bisa saja berbeda.

Mari bersama menjaga dan membangun negeri, kita bukan orang yang mudah lupa diri…

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

3 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

3 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

3 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

1 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

1 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

1 hari ago