Kebangsaan

Nyadran dan Pendidikan Perdamaian

Tradisi nyadran sangat melekat bagi masyarakat Nusantara ketika menjelang puasa dan menjelang lebaran. Menziarahi para leluhur merupakan tradisi penuh kebajikan yang sudah ditanamkan para guru bijak masa silam, agar manusia Nusantara mampu belajar dari masa lalu dan mampu mengambil inspirasi untuk masa depan. Nyadran bukan saja ritual do’a, melainkan sebuah tradisi penuh suasana spiritual yang bisa membangkitkan manusia untuk maju dan berkembang.

Nyadran hampir seirama dengan tradisi mudik. Keduanya selaras sebagai simbol bahwa manusia harus “kembali” untuk menemukan hati nuraninya yang terkubur. Hati nurani merupakan pemberian sangat besar dari Tuhan gara manusia mampu menasehati dan menjaga dirinya sendiri. Manusia juga dibekali agama, agar hati nuraninya mempunyai asupan yang benar untuk menjaga ruh dan jasadnya.

Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun perdamaian dan jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Semua saling damai, tanpa ada rasa takut.

Tradisi nyadran menjadi mudik spiritual dan kemanusiaan yang menggerakkan warga dalam kebersamaan yang kukuh. Dalam kebersamaan, termaktub falsafah mangan ora mangan kumpul, makan atau tidak makan, yang penting tetap bersama (teguh dalam kesatuan). Karena kuat kebersamaannya, maka wonten sekedek dipundum sekedek, wonten katah inggih dipundum katah, bila ada (rizki) sedikit, akan dibagi sedikit, tetapi jika ada banyak, maka akan dibagi banyak pula. Dalam kebersamaan, dibutuhkan kesabaran yang berlipat ganda. Karena sabar duwur wekasane, kesabaran akan menuju ke ketinggian martabat.

Pendidikan Perdamaian

Nyadran menjadi tradisi yang penuh semarak, tetapi di balik semarak nyadran ini, tersimpan makna penting dalam pendidikan perdamaian bagi generasi bangsa ini. Pertama, perdamaian dibangun dari basis tauhid, dan nyadran menyimpan makna pendidikan tauhid/teologi. Dalam tradisi nyadran, jelas sekali bahwa kekuasaan hanya milik Allah semata. Manusia hanya bisa berdoa dan berusaha. Ketika seseorang memanjatkan doa bersama, itu menjadi ruang teologis manusia untuk mengukuhkan niat dan iman kepada Allah. Nyadran menjadi tradisi yang terus menguatkan iman manusia agar selalu teguh kepada-Nya. Kalau iman manusia sudah teguh, maka manusia bisa kuat hatinya untuk menolak tindak kejahatan semisal korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kedua, perdamaian digerakkan mereka yang beretika, dan nyadran menyimpan makna pendidikan akhlaq. Dalam nyadran, doa bersama kepada leluhur merupakan bukti berbakti para anak-cucu kepada leluhurnya. Walaupun sudah di alam kubur, tetapi manusia masih memberikan darma baktinya kepada leluhurnya. Ini adalah pendidikan akhlaq yang sangat bermakna, karena sekarang ini antara orang tua dan anaknya seringkali kehilangan akhlaq. Hubungan tanpa akhlaq seringkali menghadirkan kasus yang tragis; ada anak membunuh orang tuanya, ada orang tua berlaku keras terhadap anaknya, dan sebagainya. Nyadran memberikan semangat akhlaq antar orang tua dan anak untuk hidup harmonis, saling mendoakan dan saling bekerjasama dengan baik.

Ketiga, damai itu saling berbagi dan peka terhadap sesama, di sini nyadran menyimpan makna pendidikan solidaritas sosial. Nyadran mengajarkan bagaimana berdoa bersama menjadi medium sangat strategis manusia untuk saling bertegur sapa satu dengan yang lain. Ketika berdoa dalam satu majlis bersama, satu dengan yang lain akan saling berinteraksi dan bekerjasama. Inilah awal mula bagaimana manusia membangun solidaritas bersama untuk kebaikan universal. Tradisi nyadran menjadi “alarm” masyarakat modern yang abai dengan solidaritas, banyak terjebak dengan ragam individualisme yang menjebak. Dengan nyadran, masyarakat modern mestinya “tercerahkan” bahwa pendidikan solidaritas sangat penting dalam menjaga keharmonisan sosial.

Keempat, perdamaian lahir dari basis tradisi, dan nyadran menyimpan makna pendidikan tradisi. Akhir-akhir ini, gerak tradisi sudah banyak ditinggalkan generasi penerus bangsa, padahal tradisi merupakan penyangga paling besar terhadap hadirnya peradaban yang maju.

Disinilah nyadran menjadi salah satu tradisi yang akan menyangga perdamaian bangsa.

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

9 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

9 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

10 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago