Narasi kebencian, intoleran, dan radikalisme semakin menguat di tengah masyarakat. Catatan Kontras (14/11/2018) menunjukkan, bahwa intimidasi dan kekerasan atas nama agama masih terus meningkat dan berulang-ulang dari tahun ke tahun. Budaya damai dan saling memahami menjadi terpinggirkan. Fenomena ini menjamur seiring dengan munculnya organisasi-organisasi berhaluan keras, tak mengakui Pancasila, dan bercita-cita mengubah NKRI.
Terbukanya pintu kebebasan berpendapat dan berserikat dijadikan oleh beberapa oknum ormas untuk kembali lagi memperjuangkan ide-ide khilafah, negara Islam, dan peraturan berbau syariah. Ormas radikal dan intoleran sejatinya hanya berjumlah kecil. Mereka sedikit, tetapi berisik. Segelintir, tetapi terorganisir.
Media sosial dimanfaatkan dengan baik oleh ormas intoleran itu untuk mengampanyekan ide, gagasan, dan cita-cita mereka. Sosial media dijadikan sebagai panggung untuk aksi-aksi yang kontra terhadap nilai-nilai persatuan. Sifatnya yang anonymous, siapa aja bisa dengan bebas membuat akun-akun penyebar konten intoleran dan penuh permusuhan.
Dengan membuat akun puluhan bahkan ratusan, mereka sudah bisa membuat wacana anti-kerhamonisan dan kedamaian. Dalam konteks inilah, ormas moderat semacam NU, Muhammadiyah, dan seterusnya, harus tampil bersuara untuk melawan. Selama ini, ormas moderat lebih banyak kerja-kerja sendiri. Belum ada kerja sama yang kuat, untuk sama-sama menangkal virus radikalisme. Akibatnya, yang tampa di luar, ormas moderat banyak, tetapi diam. Gerakan mereka terpecah, sendiri-sendiri, tak kuat, sementara ormas intoleran rapi dan terorganisir.
Menguji Komitmen
Kebebasan dalam konteks negara sejatinya bukanlah kebebasan mutlak. Ada batasan tertentu yang harus dijaga bersama. Seluruh masyarakat dan termasuk ormas sebagai wadah memperjuangkan aspirasi, tidak boleh kebablasan dan keluar dari garis kebebasan itu.
Batasan kebebasan yang dimaksud adalah ketertiban umum dan keamanan nasional. Batasan pertama, ketertiban umum, menyangkut jalannya suatu proses kehidupan yang aman, damai, dan tenteram. Tidak boleh merusak fasilitas umum, melakukan sweeping seenaknya, mau menang sendiri, merusak dan mengganggu tempat rumah ibadah orang lain.
Batasan kedua, keamanan nasional adalah tetap menjaga eksistensi dan kedaulatan NKRI sebagai rumah bersama. Seluruh hal yang bisa merusak tatanan kebangsaan dan kenegaraan, harus ditolak dan dilawan.
Kedua batasan inilah yang ditabrak oleh ormas radikal dan intoleran. Mereka dengan seenaknya melakukan sweeping dan perusakan tempat ibadah orang lain. Atas nama amar ma’ruf nahi mungkar, tempat-tempat maksiat dianggap sebagai sarang kejahatan dan boleh menghancurkannya. Efek nyatanya ketertiban umum tak tercipta. Ada keresahan di masyarakat.
Hal yang sama juga dengan keamanan negara, ormas radikal berkeinginan agar falasafah, dasar, dan tata kelola negara harus diganti dengan sistem khilafah yang menurut mereka diklaim sebagai solusi satu-satunya.
Strategi Ormas Moderat
Geliat ormas radikal dan intoleran perlu ditanggulangi. Ormas moderat semacam NU, Muhammadiyah, Perti, al-Wasliyah, dst, harus bersatu menanggulangi dan menangkal penetrasi virus radikalisme. Selama ini ormas-ormas moderat masih berjalan sendiri-sendiri dengan metode sendiri-sendiri pula. Di sinilah tidak ada kekuatan dominan yang bisa menghalau radikalisme secara massif.
Ada beberapa aspek yang perlu diperkuat oleh ormas-ormas moderat. Pertama, pengetahuan. Pengetahuan adalah basis segalanya. Mengampanyekan moderasi tak bisa dijalankan tanpa pengetahuan. Pesantren, madrasah, sekolah, perguruan tinggi, dan semacamnya adalah modal yang sangat berharga bagi ormas moderat untuk menyebarkan ajaran moderasi yang bisa menangkal radikalisme.
Kedua, cinta. Basis pengetahuan yang diajarkan harus dibasiskan pada cinta. Pesantren selama ini sudah mengamalkan ini. Proyek deradikalisasi harus berbasis cinta, bukan kebencian, dendam, dan pembalasan. Ormas moderat mempunyai kyai, ustad, bendaro, ajengan, tuan guru, yang penuh dengan nilai-nilai cinta. Ini adalah modal berharga dalam mengganti emosi keagamaan dari benci menuju cinta.
Ketiga, mengelola keberagaman. Jika modal pengetahuan dan cinta jalan, maka otomatis manajemen keberagaman mudah dijalankan. Setiap individu akan sadar bahwa ada di luar dirinya agama, kepercayaan, budaya, tradisi yang beda yang wajib dihormati. NU sejak dulu sudah melakukan ini dengan menjaga gereja ketika momen-momen tertentu. Kampus Muhammadiyah sejak dulu sudah membuka diri terhadap mahasiswa di luar agama Islam.
Kerja-kerja kolektif dari semua ormas adalah kunci utama. Ormas moderat tak bisa lagi diam dan berjalan sendiri-sendiri. Jika ormas moderat diam atau berjalan sendiri-sendiri akan ada ruang kosong yang sengaja dimanfaatkan pihak lain. Hanya bermodalkan video pendek, meme, foto berkualitas rendah dengan caption yang provokatif, ormas radikalis dan intoleran itu sudah dengan mudah mempengaruhi khalayak ramai. Jurus jitu, yakni dramatisasi dan pemelintiran pun bermunculan. Ingat, kebenaran yang tidak terorganisir bisa dikalahkan dengan kebatilan yang terorganisir.
Memaksimalkan Media Sosial
Di tengah gemerlap media sosial, Indonesia butuh peran aktif ormas moderat yang berani dengan lantang menyuarakan pluralisme, menghargai perbedaan, dan memanusiakan manusia. Banyaknya tindakan ekstrim tidak lepas dari absennya ormas moderat menyuarakan keberagaman. Sekaranng sedikit sekali yang berani melawan dan memberikan kontra wacana. Sebagian besar kaum moderat lebih banyak diam.
Akibatnya, saling asah dalam beragama dan saling asuh dalam kehidupan semakin terkikis dari masyarakat. Tindakan main hakim sendiri, menegasikan liyan, dan memprovokasi pihak yang berbeda semakin menyeruak di setiap lini kehidupan anak bangsa.
Pengarusutamaan toleransi dan moderasi bisa menggunakan media sosial sebagai instrumen. Kaum intoleran dan radikal memberikan pemahaman agama yang sempit yang kemudian diakomodasi oleh media sosial. Selama ini, kaum moderat masih berfokus pada kerja-kerja formal: seminar, workshop, konferensi, dan sosialisasi ke instansi resmi.
Cara-cara itu tentu sangat baik, tetapi belum cukup. Media sosial harus dimaksimalkan. Memaksimalkan fungsi positif-konstruktif medsos sebagai wasilah untuk mengampanyekan nilai-nilai moderasi dan toleransi bisa dijalankan dengan menyebarakan konten-konten damai, video, dakwah, tulisan popular, mempromosikan rasa persaudaraan, dan memviralkan hal-hal yang bisa membuat masyarakat guyub dan harmonis.
Media sosial sekalipun bersifat maya, sangat efektif dalam mengampanyekan gagasan. Pertarungan gagasan dan perebutan wacana adalah hal yang wajib dilakukan dengan kaum radikal. Mereka harus dilawan. Ini adalah jihad akbar dalam konteks sekarang. Melawan setiap upaya yang bisa merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara wajib bagi setiap anak bangsa untuk ikut ambil bagian.
Watak asli masyarakat Indonesia adalah moderat dan toleran. Itu sudah dibuktikan dengan sejarah. Baik dalam dasar, falsafah, maupun dalam bentuk Negara. Masyarakat Indonesia tidak ekstrim kanan, mengambil apa saja saja yang datang dari luar, juga tidak ekstrim kiri, menolak apapun, tetapi moderat, yakni bersifat selektif-akomodatif. Adanya tindakan-tindakan anarkis dan radikal lain –baik itu di kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya –hanyalah riak-riak kecil. Riak-riak itu membesar, sebab sebagian besar kita membiarkannya. Maka tindakan nyata, tidak ada jalan lain, kecuali lebih berani melawan dan bersuara.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…