Narasi

Para Pembela yang Merusak Agama

Pasca reformasi, muncul satu gerakan keagamaan di Indonesia yang mengatasnamakan dirinya sebagai pembela Islam. Islam perlu dibela menurut kelompok ini, sebab seringkali Islam terzalimi. Perasaan terzalimi inilah yang menggerakkan banyak anak muda yang tergiur dan masuk ke gerakan ini.

Makna membela versi kelompok ini ternyata beda dengan makna “membela” versi Al-Quran. Membela versi Al-Quran adalah membumikan tujuan agama. Tujuan agama tidak lain adalah kemanusiaan dan perdamaian. Maka membela Islam –Al-Quran menggunakan kalimat “jika kamu menolong [in tanshur] –artinya adalah membumikan kemanusiaan dan perdamaian.

Di tangan FPI, makna membela justru jauh dari kemanusian dan perdamaian. Membela mereka maknai sebagai melawan siapapun yang bertolak belakang dengan kelompok mereka. Bahkan sering terjadi, yang dilawan itu justru kawan seakidah, sama-sama muslim.

Dalam melakukan “aksi-aksi pembelaan” sering diikuti dengan kata-kata kotor dan tindak kekerasan. Kata kuncinya cuma satu: siapa pun yang berbeda penafsirannya dengan penafsiran mereka dianggap sebagai musuh yang wajib dilawan.

Jika ada umara yang tidak memberikan ruang kepada mereka, dicap sebagai penguasa zalim. Jika ada  ulama yang mengkritik cara berdakwah mereka dituduh sebagai ulama abal-abal. Jika ada organisasi yang berani mengingtakan mereka, bahwa membela agama itu tidak begitu caranya, divonis sebagai ormas antek-antek kafir.

Jika jejak mereka diikuti, membela Islam yang mereka koar-koarkan tidak lain adalah membela penafsiran agama kelompok mereka saja. Dalam konteks inilah terjadi distorsi. Penafsiran kelompok diposisikan sama dengan agama itu sendiri.

Akibatnya, membela tetapi prakteknya justru merusak citra agama itu sendiri. Wajah damai Islam dicoreng. Islam menjadi terkesan keras. Islam dianggap tidak menghargai perbedaan. Islam dituduh tidak toleran. Bahkan, Islam dianggap sebagai agama teroris.

Agama untuk Tuhan?

Mengapa ada aksi membela yang justru merusak Islam? Jawabannya adalah karena paradigma yang digunakan salah. FPI dan organisasi keagamaan sejenisnya masih menggunakan paradigma, bahwa agama itu untuk Tuhan. Akibatnya agama harus dibela mati-matian dari segala macam bentuk penistaan.

Pada level ini, kehendak tokoh agama menjadi kunci. Jika panutan bilang salah, maka itu otomatis salah. Jika pemimpin bilang lawan, maka anggota wajib melawan, begitu seterusnya. Sebab, itu semua dilakukan untuk “menyenangkan” Tuhan. Senang tidaknya Tuhan dilihat dari senang tidaknya tokoh agama yang mereka anut.

Inilah masalah yang mendasar yang menjadi biang kerok dari segala masalah yang mereka perbuat. Paradigmanya salah, maka otomatis tindakan dan aksinya pun akan salah. Bagaimana mungkin agama diperuntukkan untuk Tuhan. Tuhan tidak butuh agama.

Memposisikan agama untuk Tuhan akan membuat agama itu jauh dari manusia. Agama tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai petunjuk bagi manusia. Ia sudah menjadi belenggu yang tidak lagi membebaskan.

Kekerasan, terror, konflik, dan ujaran kebencian yang didasarkan atas nama agama semua muaranya berasal dari paradigma ini. Demi Tuhan, apapun akan dilakukan, meski itu sering mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Agama itu untuk Manusia

Bagaimana agar agama bisa menjadi sumber perdamaian dan petunjuk kemanusiaan? Jawabannya adalah paradigma agama untuk Tuhan harus digeser menjadi paradigma agama untuk manusia.

Sejak dini, Al-Quran sudah menyebutkan (Al-Maidah: 3): “Pada hari telah Ku sempurnakan bagimu agamamu…” Kalimat bagimu agamamu, menunjukkan agama itu datang dari Tuhan, ia diperuntukkan untuk manusia. Maka tidak perlu lagi dikembalikan ke Tuhan.

Konsekuensi dari paradigma ini adalah bahwa agama datang untuk menjamin nilai-nilai kemanusiaan. Jika ada aksi, perkataan, atau sikap yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan, maka itu sama dengan melanggar nilai-nilai agama, sebab agama datang untuk memelihara kemanusiaan.

Persatuan, toleransi, kedamaian, dan penghargaan terhadap kebhinekaan hanya bisa terwujud jika agama diletakkan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Maka segala pembelaan yang jauh dari kemanusiaan, maka itu sama saja merusak agama. Pada level ini, agama diposisikan bukan sebagai tujuan (ghayah), melainkan ia didudukkan sebagai sarana (wasilah). Jangan kebola-balik. Agama sebagai sarana, dengan demikian tidak perlu dibela mati-matian, apalagi dengan kata-kata kotor nan busuk, kekerasan, serta bentuk ujaran kebencian lainnya.

This post was last modified on 11 Desember 2020 11:11 AM

Nur Atikah Rahmy

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

20 menit ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

23 menit ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

25 menit ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

26 menit ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago